My (im)Perfect Prom Night

mollusskka
Chapter #8

Bab 8

Selasa, 12 Februari 2019

Aku memeriksa rambut dan makeup wajahku melalui cermin bulat compact powder. Kusapukan lagi sedikit lipgloss pink di atas bibirku. Bel istirahat pertama jam sepuluh pagi baru saja berbunyi. Ini kesempatan pertamaku untuk menemui Dika. Kalau tidak berhasil, aku bisa menemuinya nanti pada jam istirahat kedua atau saat pulang nanti. Aku bisa saja mengirim chat dan mengajaknya bertemu di suatu tempat, tapi aku ingin memberikan sedikit sentuhan kejutan pada misi rahasiaku ini. Bukankah cowok suka dengan cewek yang penuh kejutan? 

Aku mengambil buku The Little Prince milik Mama dari dalam tas. Di dalam buku itulah aku menyelipkan surat promposal untuk Dika. Lalu aku memasukkan gelang pemberian Dika ke dalam saku seragamku. Anggap saja itu jimat keberuntunganku. Di tengah ketergesaanku, aku melirik Mia, yang juga tampak terburu-buru.  

“Mau ke mana sih bawa-bawa map segala?” tanyaku. 

“Aku mau ke BK, nih. Penting.”

“Ya ampun, rek naon ka (mau apa ke) BK? Kena kasus?” bisik Emil yang tiba-tiba sudah nimbrung dari meja belakang. Pupilnya tampak membesar karena penasaran. 

“Bukan. Aku mau minta rekomendasi bidikmisi. Please, guys, doain aku biar bisa lolos SNMPTN dan bidikmisi, ya,” pinta Mia seraya mengatupkan tangannya sekilas. “Aku pergi dulu, ya. Dah!”

Mia langsung melesat pergi, diikuti doa penyemangat yang kami teriakan untuknya. 

“Eh, aku juga nggak ke kantin, ya. Mau balikin buku pinjeman ibu,” jelasku. 

“Iiih, hari ini kok pada sok sibuk semua, sih? Sebel!” Emil memanyunkan bibirnya.  

“Kan masih ada istirahat kedua,” sungutku saat Nava ikut nimbrung dari meja di depanku. “Udah, ya. Aku duluan. Salam buat Ben dan Nova.”

Aku melangkah cepat menuju kelas XII MIPA 1. Sebenarnya kelas Dika itu ada di seberang kelasku dan hanya dipisahkan oleh lapangan basket. Biasanya aku melewati lapangan basket untuk memotong jalan. Tapi karena takut ketahuan Emil dan Nava, aku terpaksa berjalan agak memutar melalui koridor dan melewati lima ruang kelas. Tidak masalah, sih. Aku cuma khawatir bertemu Cindy di kelas XII MIPA 4. 

Selama perjalanan, beberapa murid cewek menyapaku, atau aku yang menyapa mereka duluan. Basa-basi itu cukup membantu menghilangkan rasa grogiku untuk bertemu Dika. Apalagi waktu mereka bilang akan memilihku saat voting prom queen nanti. Kuharap itu bukan basa-basi semata. 

Suitan sejumlah cowok kini menggantikan suntikan semangat para cewek tadi. Tak pelak itu mengganggu mood-ku. Menyedihkan sekali betapa sekolah ini terlalu disesaki cowok bermental seuprit seperti mereka. Ngeceng doang berani, tapi giliran ngajak prom date pada jiper semua. Well, kalau pun mengajukan promposal, pasti bakal langsung kutolak. Tak satu pun dari mereka yang keren. 

Kelas Dika tinggal beberapa langkah lagi. Dari jarak itu aku melihat Thalia muncul dari ambang pintu. Dengan penuh kebanggaan, kedua tangannya merapikan rambut barunya yang dibentuk model bob Cleopatra. Sosok yang mirip kacang lupa pada kulitnya itu tak pernah kehilangan ide untuk membuatku jengkel. Terlebih saat dia juga masuk nominasi prom queen. Jika bisa memutar ulang waktu, aku tidak akan menaruh iba pada si cewek norak itu. 

Aku menarik napas panjang. Ketika menoleh padaku, mata Thalia langsung membelo. Giginya yang besar-besar dan agak tonggos menyambut kedatanganku. Putih giginya bertolak belakang dengan warna bibirnya yang agak hitam. Kulit sawo matangnya membungkus tubuhnya yang terbilang kurus. Tingginya boleh saja sebatas telingaku. Tapi pedenya benar-benar kebangetan.  

“Lily! Tumben lo ke sini. I miss you so much! Pasti mau cari Dika, ya?” pekik Thalia.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Dengan nada antusias, aku memuji model rambut barunya meski aku tidak suka. Dia terlihat aneh dan jelek. Bukan masalah bentuk wajahnya yang superkotak. Banyak model berwajah kotak yang terlihat cocok dan elegan dengan potongan rambut itu. Kurasa aura norak dan kampungannyalah yang membuat Thalia tampak jelek dan aneh. Belum lagi hasil rebonding rambut keritingnya yang masih terlihat kasar dan agak bergelombang. Itu malah membuatnya terlihat seperti Jeng Kelin ketimbang Cleopatra. Dia bilang dia sengaja potong rambut untuk pemotretan buku tahunan sekolah. I mean, do I need to know, gitu?

“Mau ngapain cari Dika?” tanya Thalia lagi. Tangannya belum bisa berhenti menyentuh rambutnya. Dengan gemas aku menggoyangkan buku yang kubawa di depan muka Thalia sebagai jawaban. 

 “Gila, Ly. Lo masih sempat-sempatnya baca novel.” Thalia terkekeh. “Ah, tapi kelas IPS memang lebih gampang sih ya dari kelas MIPA. Jujur gue nggak ada waktu lagi buat bersenang-senang. Pengen deh bisa nyantai lagi kayak anak IPS. Like, aku tuh capek. Seriously. Tapi papi maksa aku terus untuk masuk kelas MIPA coz dia tahu aku mampu ngejalaninnya. So, ya udah aku nurut. Ini kan demi masa depan aku juga.”

Aku tersenyum ketus. Aku dan Thalia memang pernah sekelas di kelas X IPS 3 tapi dia pindah jurusan menjelang akhir semester satu ke kelas X MIPA 2. Thalia anak yang dikucilkan di kelas. Bahkan teman sebangkunya ogah berbicara lama-lama dengannya jadi Thalia sering ditinggal sendiri. Sebenarnya Thalia bukan nama aslinya. Nama yang tertulis di buku presensi adalah Tarliah. Dia tidak mau menyahut atau menoleh ketika dipanggil pakai nama asli, kecuali oleh guru. Sikapnya yang sok cantik, sok keren, norak, dan bermuka badak sungguh formula yang manjur untuk membuat seisi kelas mengucilkannya. 

“Kalau pintar bagi waktu, harusnya sih lo masih bisa baca,” ujarku ketus. “Mau seluang apa pun, kalau nggak bisa ngatur waktu ya percuma aja, Thal.”

Thalia tersenyum kaku. “Eh, tapi Dikanya lagi ke ruang guru,” ucapnya tiba-tiba. "Rugi dong lo."

Aku menjulurkan leherku ke dalam kelas untuk mengintip. Benar. Di meja urutan ketiga cuma ada Adam Faresta, si cowok aneh teman sebangku Dika sejak kelas sepuluh.

“Gue taruh di mejanya aja," ujarku, untuk menutupi rasa kecewa. Sebenarnya ada bagusnya juga Dika tidak ada. Itu bisa menambah efek kejut dalam misi rahasiaku ini. Aku baru akan melangkah ketika Thalia tiba-tiba saja tertawa keras.

“OMG! Lo masih aja pake rok kuno kayak gitu. Emang nggak ganggu, ya?” tanyanya sambil memandang rokku. 

Lihat selengkapnya