Jam 12:00. Ben sudah menunggu di depan kelas ketika jam istirahat kedua dimulai. Bersama-sama kami pergi ke kantin sekolah. Seperti biasanya, kantin sekolah selalu penuh sesak. Terlebih pada jam istirahat kedua. Jika ada istirahat jam ketiga, sepertinya kantin akan tetap disesaki para murid. Entah karena efek kelelahan otak setelah dipakai belajar atau karena perut mereka memang tak pernah berhenti kelaparan meski sudah jajan pada jam istirahat pertama. Aku sebisa mungkin mengontrol nafsu makanku supaya berat badanku bisa turun lima kilogram, bukan cuma dua atau tiga kilogram seperti yang kubilang kemarin malam.
Emil, Nava dan Nova memesan bakso kuah pedas (setelah istirahat pertama cuma ngemil roti dan choki-choki). Hendrik memesan mie ayam (setelah istirahat pertama cuma minum air mineral yang dibawa dari rumah). Ben membawa bekal chicken nugget dan beberapa buah stroberi besar nan merah. Mia membeli satu buah bakwan untuk menghemat pengeluaran. Sementara aku tidak jajan apa-apa karena belum lapar. Hari ini Mayang, teman sebangku Nova, bergabung dengan kami dan sudah mulai asyik menikmati seblak yang warna kuahnya begitu merah penuh cabai. Titik keringat pun mulai bermunculan di hidung mancung dan dahinya yang sedikit lebar. Rambutnya yang lurus dicepol tinggi-tinggi.
“Nav, kamu nggak bisa ngeluarin Thalia dari grup dance kalian?” tanyaku membuka percakapan.
Nava langsung melotot di atas mangkuk baksonya. “Ya enggak atuh. Orang dia penggagasnya. Kita justru kenal Thalia dari kamu.”
“Jadi kamu takut sama dia?” cibirku.
“Bukan gitu. Yang punya ide buat tampil di prom night kan Thalia. Dia juga yang ngasih tambahan gerak tari jaipong di tengah-tengah cover dance BTS itu. Masa tiba-tiba aku keluarin dia? Kan aneh.”
“Anjir! Bobotoh rek ngarumpul jam tilu euy! (Wah! Bobotoh mau pada ngumpul jam tiga nih!)” pekik Hendrik tiba-tiba sambil memukul meja dengan kepalan tangannya. Sontak kami semua terlonjak kaget dan mendengkus kesal padanya.
“Ya ampun, Hendrik! Kamu teh meuni ngarereuwas wae (ngagetin aja) ih!” Emil memukul keras lengan Hendrik. “Jantungan yeuh (nih)!” Tapi Hendrik cuek. Matanya tetap terpaku ke ponselnya dan tertawa-tawa sendirian. Emil lalu menepuk-nepuk dadanya sambil bergumam tak jelas.
“Aing moal milu pendalaman materi sigana mah (Kayaknya aku nggak akan ikutan pendalaman materi). Bejakeun urang gering, okeh? (Bilangin aku sakit, oke?)” pinta Hendrik pada Emil. Emil cuma mengedikkan bahunya dengan sebal. Aku ikut mencibir pada Hendrik. Ucapannya tadi di kelas masih meninggalkan kejengkelan. Lalu tatapanku kembali tertuju pada Nava, yang kini sedang membelah bakso menjadi dua bagian. Kedua alisnya tampak mengerut serius. Atau dia masih cemberut? Aku pun memberanikan diri lagi untuk buka suara.
“Nav, kamu bisa bilang kalau kalian nggak cocok lagi sama Thalia. Terus bagian tarian jaipongnya dibuang aja, dengan begitu Thalia nggak bisa mengklaim apa-apa lagi sama kalian. Gampang kan?” Aku menatap Thalia dengan mata berbinar.
“Ah, jangan atuh. Kan bertujuh biar mirip BTS." Nava memberengutkan wajahnya. "Nyari pengganti dia udah terlalu mepet waktunya. Dan kita nggak mau ngebuang gerakan jaipong itu. Pak Koswara pasti bakal bangga karena kita nggak ngelupain budaya sendiri meski suka nari-nari K-pop.”
Aku menghela napas kesal. “Guys, kalian nyadar nggak sih kalau Thalia cuma manfaatin kalian? Dengan tampil di acara prom night, sementara dia jadi kandidat prom queen, itu bisa naikin popularitas dia. Imbasnya, tingkat keterpilihan dia bisa meningkat drastis.”
“Emang kenapa?” tanya Nova lugu sambil mengunyah makanannya. Mayang ikut melirikku penasaran. “Kita kan tetap vote kamu, Ly, bukan Thalia. Mau disogok berapa pun, kita tetap setia sama kamu. Lagi pula aku yakin Thalia nggak mungkin terpilih jadi prom queen.”
“Iya,” timpal Mayang dengan mulut menahan pedas. “Kita kan udah janji vote kamu. Jadi kamu nggak perlu cemas. Bodo amat deh kalo Thalia cuma manfaatin kita. Karena kita cuma pengin nunjukkin ke semua orang kalo cewek gemuk kayak kita masih bisa nari yang lincah dan powerful kayak BTS. Iya kan teman-teman?”
Nava dan Nova mengangguk cepat.
“Kamu harus pede, Ly,” ucap Mia. “Poin kamu dan Thalia kan lumayan jauh. Selain itu kalo Nava ngeluarin Thalia, secara etika itu nggak sopan banget. Seperti yang Nava bilang, Thalia penggagasnya.”
Nava, Nova dan Mayang mengangguk lebih cepat lagi.
Aku melirik Mia yang tersenyum lembut. “Aku nggak suka aja sama Thalia,” keluhku. “Dia belagu banget sekarang.”
“Ih, lainna ti baheula si Thalia teh belagu jeung pikasebeleun? (bukannya dari dulu si Thalia itu belagu dan nyebelin?)” Emil menanggapi. Bibirnya tampak memerah karena rasa pedas kuah bakso. “Ya ampun, geus siga nu panggeulisna wae jelema teh (udah kayak yang paling cantik aja tuh orang). Berasa bidadari. Iya, bidadari turun dari kahyangan, tapi gotnya.”
Aku dan yang lain tertawa terbahak. Bahkan Mayang nyaris tersedak.
“Got yang lumpurnya bau banget.” Nava menimpali.
Kami kembali tertawa riuh. Seketika level bahagiaku merangkak naik. Meski Nava tidak mau mengeluarkan Thalia, aku merasakan dukungan dan pembelaan untukku di balik gelak tawa itu. Dan itu luar biasa melegakan mengingat betapa buruknya perlakuan yang kudapat dari Thalia tadi.
“Kamu masih ingat kan, Mi, kalau aku yang ngajak Thalia gabung ke kelompok kita dulu?” Aku melirik Mia lagi, yang langsung mengangguk pelan. “Padahal seisi kelas nggak ada yang mau ngobrol sama dia. Waktu aku pungut, dia nurut sama semua yang aku bilang. Menghamba banget deh tuh anak. Aku yang ngajarin dia supaya nggak terlalu sok jadi orang. Dan semenjak itu Thalia nggak dikucilin lagi di kelas. Terus waktu dia pindah kelas, dia masih suka main ke kelas aku karena katanya dia nggak punya teman yang sepengertian aku. Tapi pas mulai dekat Cindy, dia kelihatan beda. Mandang aku udah kayak senior yang ngeremehin juniornya gitu. Asli, belagu banget deh tuh anak!”
Emil dan yang lain manggut-manggut. Lalu Ben tiba-tiba berdeham dan mengalihkan perhatianku. Itu kode darinya untuk segera pergi. Aku pun mengangguk samar pada Ben.
“Guys, aku sama Ben mau nonton permainan futsal dulu ya,” ujarku santai, seraya mencomot satu stroberi dari kotak makanan Ben. “Capek ngomongin Thalia terus.”
“Ya ampun, sejak kapan kalian suka nonton futsal?” kicau Emil penuh curiga. “Kalian pasti mau ngomongin sesuatu ya? Yang tadi kan?”
“Mau tahu aja!” sungutku sambil berdiri. “Ayo, Ben.”
Ben mengangguk. Dia menyodorkan bekal makannya pada Mia. “Buat kalian,” katanya.
Mia dan yang lainnya bersorak senang. Emil lantas mengambil dua butir stroberi dan melahapnya cepat-cepat bersama kecurigaannya. Dia terlihat tidak peduli lagi dengan alasan sebenarnya kami nonton futsal.
Aku dan Ben duduk bersebelahan di sebuah bangku taman sekolah yang menghadap langsung ke lapangan futsal, di mana sejumlah murid tampak berjuang memperebutkan sebuah bola sementara di sudut lain seorang pemain terdengar berteriak-teriak marah sambil menunjuk-nunjukkan tangannya ke atas. Dulu Dika pernah menjelaskan soal permainan futsal padaku, tapi sekarang aku tidak ingat lagi. Omong-omong soal Dika, dari bangku itu pun aku bisa melihat ruang kelasnya meski cukup jauh. Kulihat ada kerumunan kecil di sana. Mungkin itu aksi promposal. Seketika perutku kembali bergejolak memikirkan jawaban Dika nanti.
“Hmm, Valentine’s Day nanti kayaknya bakal banyak promposal nih. Pasti sekolah kita bakalan heboh,” ujarku. Ben tersenyum kecil. Saat itu aku ingin menanyakan soal prom date tapi tidak jadi. Nanti saja setelah aku tahu jawaban dari Dika. Aku tidak mau merusak apa yang sudah kurencanakan dengan matang. “Jadi…kamu mau ngomongin apa?” tanyaku.