Pendalaman materi usai beberapa menit lalu dan jam di tanganku menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Semua temanku sudah pulang. Hanya segelintir murid kelas XII yang masih duduk-duduk di bangku depan kelas mereka atau sekadar bermain basket untuk melepas penat sejenak. Aku melangkah berat menuju lab fisika, menapaki sisa-sisa air hujan yang menggenang di jalanan berplester. Kalau tadi sempat mendebat, aku tidak mau bertemu Dika di sana.
Lab fisika hampir selalu sepi dan letaknya paling ujung. Jarang sekali ada murid yang nongkrong di sana. Aku selalu merasakan aura menakutkan setiap berada di sana atau sekadar melewatinya. Mungkin karena seluruh dinding luarnya disusun dari batu alam templek hitam hingga warna kelamnya menciptakan kesan yang murung dan tua. Atau mungkin karena pohon kersen yang menjulang tinggi dan rindang di sebelahnya hingga membuat lab fisika terlihat senyap dan gelap. Dulu bahkan pernah ada yang bilang kalau batang pohon itu bergerak-gerak keras meski tidak ada angin yang bertiup. Entah benar atau tidak, itu sudah cukup membuatku takut.
Aku menuruni beberapa anak tangga yang basah oleh air hujan. Dari sana aku melihat Dika duduk di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam kecil tanpa air. Dia duduk sambil membalik-balik halaman buku. Pelan-pelan aku melangkah menjejaki daun dan buah kersen yang jatuh berguguran di tanah. Suara gemeletuk terdengar dari bawah sepatuku. Kurasa suara itu juga yang membuat Dika menoleh padaku dan berdiri. Seketika rasa dingin menghinggapiku. Aku menyesal tidak memakai cardiganku tadi. Sekarang, dengan Dika yang memandangku dari kejauhan, rasanya aneh mengambil cardigan itu dari tas lalu memakainya.
“Maaf lama. Tadi ada tugas tambahan dari guru,” ujarku begitu sampai di hadapannya. Senyum tipis tergurat di wajahku. Sebenarnya aku hanya menunggu semua temanku pulang dengan berbagai alasan yang bisa kupikirkan. Cuma Ben yang tahu aku dan Dika bertemu.
“Nggak apa-apa,” jawabnya ikut tersenyum tipis. “Aku nunggu sambil baca-baca buku kamu. Nih.” Dika menyerahkan buku The Little Prince padaku. “Ilustrasinya bagus.”
Aku menerima buku itu tanpa menanggapi. Saat itu pun aku menangkap Dika tengah memandang pergelangan tangan kiriku, di mana gelang pemberiannya masih melingkar. Sorot matanya terkejut, begitu pun aku. Seketika itu juga aku menyembunyikan tanganku di balik punggung dan kepalaku menunduk malu.
“S-suratnya aku simpan.” Dika menambahkan dengan terbata.
Aku mengangguk tanpa menatapnya. Kupandangi ubin kusam yang kupijak, menunggu Dika bicara. Tak jauh dari lab fisika, terdapat sebuah lapangan olah raga di mana ekskul taekwondo sedang berlangsung. Meski cukup jauh, suara entakan kaki dan teriakan murid taekwondo masih terdengar hingga ke tempat kami berada. Suara itu mampu membebaskanku dari keheningan yang tercipta. Tapi sampai kapan kami akan terus membisu?
“Kamu—”
“Aku—”
Dua kata itu terucap bersamaan olehku dan Dika, membuat kami tersenyum canggung. Dika menggaruk kepalanya dan aku memalingkan wajah sejenak. Aku tidak tahan berlama-lama dalam situasi canggung ini.
“Aku tahu kamu mau ngomong apa,” ucapku sambil tersenyum dan menatap Dika. “Kamu pasti mau nolak promposal aku kan?”
Dika mengangguk pelan. “Maaf ya, Ly. Kamu nggak marah kan?” Alis tebalnya mengernyit. Itu salah satu tanda yang terlihat setiap kali dirinya cemas atau serius. Tapi aku tidak mau mengakui tebakan jitunya. Lagipula ini kan cuma prom date. Aku masih bisa cari cowok lain.
“Hah? Marah? Ngapain juga aku marah?” Tawaku kaku. “Hmm, jangan-jangan karena takut aku histeris makanya kamu ajak aku ketemuan di sini ya?” Aku melirik Dika jahil.
Dika tak menjawab dan tampak memaksakan senyumnya. Satu tangannya memegang tali tas punggung sementara tangannya yang lain dimasukkan ke saku celana.
Aku bersedekap. “Ngomong-ngomong, siapa sih cewek beruntung yang jadi prom date kamu? Aku jadi penasaran. Pasti cantik,” godaku lagi.
“Kamu nggak kenal dia,” sahutnya pelan.
“Masa? Perasaan aku kenal semua anak kelas XII.”
Dika terdiam sejenak. “Dia adik kelas.”
“Oh.” Aku mengangguk kaku dan seketika rahangku mengeras. Hatiku seperti tergores dan tenggorokanku mulai perih. Namun segera kuusir rasa itu jauh-jauh. “Biar kutebak. Kalau bukan anak OSIS, pasti anak paskibra ya?”
Dika mengangguk dan dan raut wajahnya terlihat muram. Beberapa saat keheningan kembali menguasai kami. Kupikir sebaiknya aku pergi. Aku tak tahu sampai batas mana aku sanggup terlihat kuat di hadapannya. Namun sebelum itu kulakukan, Dika kembali bicara.