Mobil Papa sudah terparkir di garasi rumah ketika aku sampai dan ada dua motor terparkir di belakangnya. Pasti itu punya temannya Kevin. Kubuka pintu rumah pelan-pelan dan menutupnya lebih pelan lagi. Suara televisi yang menyiarkan berita dari ruang keluarga menyambut kedatanganku. Pasti Papa ada di sana. Sambil berjalan mengendap, aku melatih kembali alasan yang sudah kusiapkan mengenai keterlambatanku dan kenapa aku menangis, karena mataku benar-benar sembap dan hidungku merah. Tapi tidak ada Papa di ruang keluarga. Sementara Mama berdiri di dapur dengan posisi membelakangiku, kelihatannya sedang memotong sesuatu untuk makan malam. Aku mengembuskan napas lega dan lanjut mengendap-endap menuju lantai dua, melewatkan sapaan yang biasa kuberikan pada Mama sepulang sekolah.
Suara musik membahana cukup keras dari lantai dua ketika aku menaiki anak tangga. Saat itu juga Kevin muncul dari puncak tangga, hendak turun ke lantai satu. Ugh! Baru aku terbebas dari Papa dan Mama, tapi justru aku harus bertemu Kevin, si bocah tengil yang paling ingin kuhindari terlebih dalam kondisiku sekarang. Sial! Bisa kulihat mata Kevin berkilat dan air liurnya menetes, seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya. Penuh kewaspadaan, aku memasang wajah bengis pada Kevin.
“Diam lo!” sungutku, bahkan sebelum Kevin berkata apa-apa. Kevin cuma tertawa mencemooh menanggapi sikapku. Setidaknya dia menuruti perintahku. Malah aku sempat menangkap raut terkejut di wajahnya. Tapi berhubung itu Kevin, kurasa tak mungkin dia menaruh iba padaku.
Dengan langkah cepat aku lanjut berjalan menuju kamarku, melewati kamar Kevin yang pintunya terbuka lebar. Suara musik terdengar makin jelas dan mengganggu. Sepintas kulihat dua teman cowok Kevin mengerjakan sesuatu di lantai berkarpet. Mereka menyapaku dengan suara lantang tapi kuabaikan mentah-mentah. Dengan kesal aku membanting pintu kamar dan menguncinya dengan suara kasar.
Kutaruh tas di kursi meja belajar dan kurebahkan tubuhku yang lelah di kasur. Aku tidak ingin melakukan apa pun selain berbaring dan meratapi apa yang baru saja kualami. Sakit itu masih menggerogotiku. Dan itu bertambah buruk karena suara musik dari kamar Kevin masih bisa menembus masuk kamarku.
Dengan geram aku membuka pintu kamar dan berteriak, "BERISIK!!!” sekencang yang aku bisa ke arah kamar Kevin. Lalu kubanting lagi pintu kamarku sekeras mungkin. Seketika suara musik pun tak terdengar lagi. Hening untuk beberapa menit dan aku bisa memejamkan mataku penuh ketenangan. Tapi tak lama kudengar suara Kevin menyanyikan sebuah lagu yang akhir-akhir ini sedang digandrungi banyak orang:
“Sayang, opo kowe krungu jerite atiku? Mengharap engkau kembali.
Sayang, nganti memutih rambutku. Ra bakal luntur tresnoku.”
Kedua teman Kevin ikut mengiringinya pada bait selanjutnya. Suara mereka bertambah nyaring dan terdengar begitu menghayati lagu itu. Hatiku benar-benar meradang dibuatnya tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku benci kenapa Kevin dan kedua temannya tidak punya rasa empati sama sekali. Kenapa juga mereka bisa hafal lagu itu? Dan, oh my God, kenapa lagu itu harus mirip dengan apa yang terjadi denganku? Ugh!!!
Aku menutup kepala dengan bantal sampai paduan suara itu terdengar cukup samar dan perlahan hilang sepenuhnya, digantikan suara ketukan pintu di kamarku. Suara Mama terdengar memanggil. Berat hatiku untuk bertemu Mama karena Mama pasti akan bertanya kenapa. Kenyataan bahwa aku belum bisa move on dari Dika adalah hal yang ingin kusembunyikan rapat-rapat terutama dari Mama. Aku benci bahwa dugaan Mama sebelumnya benar.
Akhirnya aku menyerah. Pintu kubuka dan Mama masuk, menyusulku yang kembali berbaring di tempat tidur memunggunginya. Belain lembut Mama menyentuh kepalaku.
“Tumben hari ini nggak ada sapaan dari kamu.” Mama membuka suara. Aku tidak menjawab. “Sekolahnya capek, ya?” tanya Mama lagi dan masih tidak kujawab. Hanya tubuhku yang bergerak naik turun oleh tangis yang kutahan.
Kudengar suara Papa di kamarku menanyakan ada apa, tapi bisa kutebak Mama menyuruh Papa pergi. Suara pintu kamar kembali ditutupnya dengan halus.
Perlahan aku membalikkan tubuhku tapi kedua mataku masih enggan menatap Mama. Sesak di dadaku semakin menjadi. Jemari Mama menghapus air mata yang meluncur di sudut mataku. “Kamu mau mandi dulu atau makan malam dulu?” tanyanya. “Nanti Mama bawakan makanannya ke sini.”
Aku langsung menghambur ke pelukan Mama dan tangis yang sedari tadi kutahan akhirnya pecah. “Dika udah punya pacar baru, Ma. Dika udah benar-benar lupain Lily. Kenapa Dika jahat sama Lily? Dulu dia bilang nggak mau putus dari Lily. Tapi kenapa sekarang dia berubah pikiran?"
Tepukkan lembut tangan Mama di pundakku menjadi penenangku. Dan perlahan kisah pilu itu mengalir dengan sendirinya dari mulutku tanpa ada yang ingin kusembunyikan. Merahasiakannya dari Mama hanya akan membuatku semakin tersiksa. Mama menyimak setiap kata yang kuucapkan dengan sepenuh hati dan di akhir cerita Mama menyeka air mata di pipiku. Kulihat titik air mata pun terbit di sudut matanya, yang langsung dihapusnya. Sampai sekarang, Mama adalah pendengar terbaikku setelah Ben. Mama selalu tahu caranya menenangkan hatiku dan berempati padaku.
Karena menolak makan malam, Mama akhirnya membawakanku beberapa bungkus snack bar multigrain, salad buah berry, dan beberapa cup puding cokelat. Tapi semua itu tidak berhasil menggugah seleraku meski perutku berteriak minta diisi. Aku pun malas mengganti seragam, apalagi mandi. Aku hanya ingin berbaring di kasur sambil mendengarkan lagu-lagu patah hati di iPod. Seakan dengan mendengarkan lagu yang menyayat hati itu membuatku merasa tidak sedih sendirian.
Pukul sepuluh malam aku baru tergerak untuk mandi. Dan ternyata, siraman air hangat di tubuh cukup membantu memperbaiki perasaanku. Namun siraman air itu tak bisa mengenyahkan Dika dari pikiranku. Dengan handuk yang masih membungkus tubuh dan rambutku, aku segera mengambil ponsel, mengecek siapa tahu ada chat masuk dari Dika. Tapi tentu saja tidak ada. Aku mendengkus sebal. Ngapain juga aku masih berharap?