My (im)Perfect Prom Night

mollusskka
Chapter #13

Bab 13

Rabu, 13 Februari 2019

Entah berapa lama aku tertidur, yang jelas itu belum cukup. Kepalaku benar-benar berat saat terbangun pukul 04:40 pagi itu. Rasanya aku ingin tidur kembali sampai siang dan tidak memedulikan apa pun yang terjadi di sekitarku. Hari ini saja, aku ingin libur dan berkubang di tempat tidur sepuasnya. Kalau tidak mendengar ketukan pintu dan suara Mama yang memanggilku dari luar kamar, kelopak mataku sudah benar-benar lengket tak bisa dibuka.

Seperti yang sudah kuduga, kedua mataku masih sembab. Aku meneteskan obat mata untuk mengurangi warna merahnya, lalu mengoleskan eye sleeping mask dan concealer milik Mama di bawah kedua mataku. Tapi wajah habis menangisku masih terlihat. Aku lantas membuat riasan under eye khas Korea untuk kantung mataku dengan bantuan waterproof eye liner, cotton bud dan eyeshadow putih gemerlap, lalu sedikit sentuhan riasan cat eye di ujung kelopak mata atas, dan sedikit blush on warna pink di pipi agar wajahku terlihat segar. Hasilnya tidak jelek-jelek amat untuk waktu yang sesingkat itu. Dan itu cukup menyamarkan mata sembabku. Sekali lagi aku mengamati wajahku di cermin. Sedikit menor dari biasanya, memang. Tapi itu lebih baik ketimbang wajah sembab yang menyedihkan tadi.

Tak lupa aku membuka empat bungkus snack bar, memasukkannya ke dalam sebuah plastik dan menaruhnya di tas sekolahku sementara bungkusnya aku buang ke tempat sampah. Dengan begitu Mama akan mengira aku sudah memakannya, karena Mama pasti bakal mengomel kalau tahu aku tidak makan sama sekali tadi malam. Snack bar itu sendiri akan kubuang nanti di sekolah. Aku masih belum lapar. Salad berry dan puding cokelat tetap kubiarkan di tempat semula tanpa tersentuh dan berkurang sedikit pun.

***

“Ya ampun, meuni alus (bagus banget) make-up na (nya). Hayang (Mau), ih. Ajariiin.” Emil menyambut kedatanganku di kelas dengan suara melengking tingginya yang khas. Sebelumnya dia sedang menatap cermin meja bulat, yang memang selalu disimpannya di kolong meja, sambil merapikan poni rambutnya yang masih basah dengan sisir.

Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan sebagai jawaban. Jam tanganku saat itu menunjukkan pukul enam kurang lima menit.

“Tumben dandan lengkap, Ly. Biasanya tipis natural aja." Emil tiba-tiba mengamati kedua mataku lebih teliti. “Ih, kamu habis nangis ya?"

“Nggaklah. Ngapain nangis? Yang ada aku begadang ngafalin rumus sampe mataku capek.” Aku meletakkan tas punggungku di kursi. “Mia ke mana? Kok cuma tasnya aja yang ada? Nava dan Hendrik juga jam segini kok belum datang? Nggak takut telat, apa? Heran.”

“Comelnya, ya ampun, udah mau nyaingin hayam (ayam) aku di imah (rumah). Satu-satu atuh (dong), Ly.” Emil mencibir. “Si Mia lagi ke toilet. Barusan aja kok."

Aku duduk di kursi dan berbalik menghadap Emil, memainkan cerminnya, yang bisa diputar 360 derajat, sehingga Emil kesulitan melihat poni dan wajahnya. Emil lantas menjauhkan cerminnya dari tanganku. “Ya ampun, pagi-pagi iseng amat, ih. Bete? Aku bawa camilan di tas, tuh. Mau?”

Aku mengembuskan napas, bersiap mengeluhkan kepalaku yang sakit sambil memijit bagian tengah keningku, tapi segera terpotong oleh kedatangan Nava dan Nova. Tawa cempreng mereka memenuhi seisi kelas yang cukup sepi. Mereka berlari menuju meja kami sambil memegangi perut mereka. Rambut dan seragam pramuka mereka terlihat agak berantakan. Dengan poni yang kini sebagian besar menyamping tertiup angin, Nava hampir sulit dibedakan dengan Nova.

“Tadi ada kejadian lucu dan aneh banget, guys!” ujar Nava sambil tertawa. “Ngeri juga. Aduh, sumpah deh. Aku sampe kebelet gara-gara nahan tawa sama takut."

“Ya ampun, naon (apa), ih?” tanya Emil penasaran. Sementara aku cuma memandang mereka dengan tatapan tidak tertarik. Sakit di kepalaku semakin berdenyut. Ketenangan adalah yang paling kuinginkan sekarang.

“Wah… Lily pake makeup aegyo-sal! Neomu yeppeuda (Cantik banget)!” Nova berteriak heboh sambil menunjuk kedua mataku. “Aku juga pernah nyobain, tapi malah jadi kayak hantu.”

“Iya, dia mirip banget kuntilanak waktu nyoba itu!” Nava tertawa.

“Habis susah waktu bikin garis aegyo-sal-nya,” rengek Nova. “Kamu kan kulitnya putih, jadi hasilnya bagus. Coba aku juga putih.”

Aku cuma tersenyum simpul tak bersemangat.

“Kamu sakit, Ly?" tanya Nova iba, yang kujawab dengan gelengan kepala lemah. Lalu kubaringkan kepala di atas kedua tangan yang kulipat di meja.

“Aku nggak pa-pa. Gimana ceritanya?” tanyaku pelan.

“Nah, kalian tahu Adam cucunya Pak Koswara?” Nava melanjutkan dengan berapi-api.

“Ih, ngarang! Nu (Yang) bener tuh kakeknya Adam temenan sama Pak Koswara,” ralat Emil.

“Iya itulah!” gerutu Nava. “Jadi tadi teh (tuh) kita ketemu si Adam di tempat fotokopi. Dia lagi duduk di kursi sambil ngelihatin sepatunya. Nah, pas kita lagi nyerahin berkas ke tukang fotokopi, si Adam tiba-tiba berdiri nyamperin kita, guys! Terus dia ngetuk-ngetuk punggung si Nova! Hiiii” Dengan sepenuh hati Nava bergidik ngeri sambil setengah tertawa. Di sebelahnya, Nova pun berbuat hal serupa. 

“Aku kaget banget, guys! Jantung aku kayak udah copot gitu." Nova bergidik sambil mengurut dadanya, sementara Emil dan Nava tertawa terbahak. Aku sendiri cuma tertawa pelan dan singkat. “Adam kan aneh gitu anaknya. Seumur-umur aku belum pernah lihat dia nyapa atau gaul dengan siapa pun selain Dika. Terus tiba-tiba dia main nyolek aku. Ya aku kagetlah. Makanya aku langsung kabur.” Nova menarik napas cepat. “Aku pikir Nava mau nunggu fotokopian di sana, eh dia malah ikut kabur.”

“Ya iyalah aku ikut kabur! Gila aja aku diam di sana. Entar aku diapa-apain dia, gimana hayo?"

"Terus fotokopiannya gimana?"

"Kamu tuh lebih mentingin fotokopian daripada saudara kamu sendiri! Entar istirahat aku cari!" Nova menggerutu.

Lihat selengkapnya