Aku masih mengurung diri di kelas pada jam istirahat kedua. Benakku kini dipenuhi oleh kenyataan bahwa aku dan Kevin belum juga menentukan satu tokoh kartun yang menjadi pilihan kami berdua untuk dijadikan cokelat praline. Tadi pagi Mama sudah mengingatkan kalau jam tiga sore ini adalah batas terakhir penentuan tokoh kartun pilihan bersama itu karena hari ini adalah hari pembuatan cokelat praline. Kalau sampai jam tiga sore tidak juga ada keputusan bersama, Mama tidak akan membuat cokelat praline untuk Valentine's Day tahun ini. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi.
Untuk pilihan pribadiku, aku sudah menentukan Hello Kitty, Rilakkuma dan Pikachu sebagai tokoh kartun pilihanku. Sedangkan Kevin memilih Naruto Uzumaki, Son Goku dan Keroppi. Katanya Keroppi adalah pilihan Dewi. Dan katanya lagi dia untung tiga karena Dewi juga suka Hello Kitty, Rilakkuma dan Pikachu. Ugh! Kapan sih Kevin tidak akan menyebut nama Dewi dalam setiap pembicaraannya?! Menyebalkan!
Aku berharap Kevin akan meneleponku atau bertanya lewat chat soal ini, tapi sampai detik ini dia tidak melakukan itu. Kurasa Kevin tidak begitu peduli dengan tradisi bagi-bagi cokelat praline seperti halnya aku. Akhirnya, meski gengsi, aku memutuskan untuk mengirim chat duluan pada Kevin.
‘Lo mau tokoh apa buat cokelat praline kita?’
Sedikit bebanku seperi terangkat begitu menekan tombol kirim. Aku pun lantas membuka Youtube sambil menunggu balasan Kevin, juga sebungkus makaroni pedas basah yang kutitip pada Mia. Aku mengecek apa yang sedang trending sekarang di YouTube. Tak seperti Instagram, Facebook, atau Twitter, tak ada yang aku ikuti di Youtube, jadi itulah satu-satunya media sosial yang aman untukku saat ini. Aku tidak perlu menambah beban pikiranku dengan melihat kehidupan orang lain yang tampak berbanding terbalik dengan kondisiku sekarang.
Tujuh menit sudah berlalu, bahkan titipanku sudah datang, tapi Kevin belum juga membalas chat-ku. Padahal aku bisa melihat jelas dua centang biru itu. Jam segini seharusnya dia juga sedang istirahat. Ngapain sih tuh anak?! Sambil menahan emosi, akhirnya kuputuskan untuk meneleponnya.
[Apa?] tanya Kevin datar, setelah nada sambungan kelima.
“Chat itu dibalas, bukan dibaca doang!” sungutku. “Bukan cuma lo yang sibuk.”
[Gue masih mikir. Nggak sabaran amat sih jadi orang!] Kevin ikut marah. [Lo sendiri maunya tokoh apa?]
“Terserah,” ujarku ketus, meski bukan itu yang sebenarnya ingin kukatakan. Di ujung lidahku sudah hampir terlontar tokoh Super Mario, tapi aku menelannya kembali. Sebenarnya aku ingin berdiskusi dan berbicara baik-baik dengan Kevin seperti dulu lagi. Tapi mendengar Kevin balas membentakku, niatku semula langsung berubah arah.
[Ya udah.] Kevin mendengkus. [Entar gue kasih tahu Mama tokoh kartun pilihan kita. Jangan ngamuk kalo ternyata nggak sesuai keinginan lo.]
Tanpa mengiyakan atau berkata apa pun, aku menutup sambungan telepon begitu saja. Aku benar-benar dibuat jengkel oleh sikap Kevin, yang semakin hari semakin menyebalkan. Kuabaikan pertanyaan Mia soal pembicaraanku dengan Kevin. Sambil makan makaroni, aku menonton video berisi konten prank di YouTube, sementara Mia kembali melanjutkan penulisan naskah dramanya.
Ketika jam pelajaran berlangsung, lagi-lagi ada gemuruh tawa dari kelas tetangga. Diam-diam aku, Mia, Emil dan Nava saling berpandangan, begitu pun dengan sejumlah anak lainnya. Kami bertanya-tanya kehebohan apa yang sekiranya terjadi di kelas tersebut. Emil membisikkan nama Adam tapi aku cuma mengerutkan kening tak yakin.
Waktu sekolah usai, Emil dan Nava mencari tahu apa yang terjadi. Ternyata kejadian tersebut bukan terjadi di kelas sebelah, melainkan dua kelas sebelum kelasku. Seperti dugaan Emil, memang Adamlah yang menjadi sumber kehebohan itu.
Kata Emil, Adam mengetuk pintu kelas MIPA 5 saat pelajaran berlangsung. Seisi kelas langsung tertawa heboh begitu tahu Adam yang datang. Sambil sedikit menahan tawa, sang guru langsung menenangkan kehebohan itu. Dengan wajah tanpa ekspresi, Adam berbicara pada guru, bilang kalau dia mencari seseorang bernama Lily. LILY?! Lalu cewek bernama Lily di kelas itu menghampiri Adam. Sekilas Adam memandangnya tapi entah kenapa dia tiba-tiba pergi begitu saja tanpa pamit pada guru, apalagi pada si cewek yang bernama sama denganku itu. Seisi kelas kembali bergemuruh oleh tawa dan sang guru kembali menenangkan mereka. Tapi bisik-bisik tak bisa dibendung. Diam-diam seisi kelas itu masih membicarakan kedatangan Adam. Aku sendiri heran, sebenarnya anak itu kerasukan apa sih sampai sebegitu niatnya bikin heboh orang seharian ini? Meski begitu, aku tidak tertarik untuk membahasnya lebih dalam, seperti yang sedang dilakukan Emil, Nava dan Nova sekarang.
Siang itu kami berada di taman belakang sekolah, menunggu kelas pendalaman materi dimulai lima belas menit lagi. Aku duduk di bangku yang dinaungi rindangnya pohon flamboyan. Bunganya yang indah bak bara api terlihat mulai bertumbuhan namun jumlahnya masih kalah jauh dibanding hijau daunnya yang rimbun. Pemandangan bunga flamboyan kala mekar sepenuhnya adalah pemandangan terindah yang ada di sekolahku.
“Ih, jangan-jangan kamu yang dicari si Adam!” Emil tiba-tiba memekik sambil menunjukku, sementara tangannya yang lain bersandar pada batang besar pohon flamboyan.
“Ew, enak aja! Ngapain juga dia nyariin aku?” tanyaku sambil berjengit. Aku tak bisa menahan kejijikanku pada Adam, yang seharusnya bisa kusembunyikan baik-baik. Bagaimana pun, aku ingin selalu dikenang sebagai cewek populer yang merangkul semua kalangan, termasuk si culun Adam. Jadi aku tidak seharusnya terang-terangan menunjukkan ketidaksukaanku pada Adam.
“Emang ada berapa sih yang namanya Lily di sekolah ini?” Nova bertanya, lalu menyedot es kelapa muda dari sebuah plastik yang dipegangnya. Putihnya es itu terlihat begitu kontras dengan kulit tangannya yang berwarna hitam. Diam-diam aku berjengit. Entah kenapa pemandangan itu begitu mengganggu perasaanku.
“Beberapa.” Mia menjawab santai. Sambil duduk bersila di sebelahku, Mia kembali menuliskan sesuatu di buku yang diletakkan di atas pangkuannya. Mungkin itu masih naskah dramanya. Tak ketinggalan, permen karetnya yang ditiup hingga membentuk balon besar lalu diletupkannya keras-keras.
“Beberapa itu berapa?” Nava berkata ketus. "Yang jelas dong."
“Aku nggak tahu pasti. Tapi kamu bisa cek daftar absensi siswa di setiap kelas atau masuk ke situs sekolah. Pasti ketemu jawabannya.” Mia menjelaskan, masih dengan nada santai. “Kalau aku sih cuma kenal Lily kamu,” Mia menunjukku dengan pulpennya, “dan Lili Sutrisna. L-i-l-i. Dia teman cowok sekelasku waktu kelas XI.”
Aku mendecak kesal. "Guys, udah deh. Ngapain sih ngomongin Adam terus? Sakit kepala nih. Ganti topik, please.”
Namun sepertinya permintaanku cuma dianggap angin lalu oleh mereka.
“Eh, menurut kalian sikap Adam ini ada hubungannya nggak sama kejadian di tempat fotokopi tadi pagi?” tanya Nova penuh semangat. "Maksud aku, mungkin aja si Adam mau tanya soal Lily sama kita. Tapi kitanya malah keburu kabur gara-gara takut sama dia."
“Bisa jadi!" Nava menunjuk Nova dengan penuh antusias, sampai-sampai lubang hidungnya membesar. "Karena nggak nemu jawaban dari kita, dia akhirnya memutuskan datang sendiri ke kelas-kelas untuk cari yang namanya Lily."
"Tapi dia selalu ketemu Lily yang salah!" Nova balas menunjuk Nava.
"Dan bukan nggak mungkin kalau Lily yang Adam cari adalah Lily kamu!" Nava memekik sambil menunjuk wajahku. Emil dan Nova ikut bersorak menyetujui dugaan Nava.
"Ya ampun, bener, bener!” Emil berseru. “Sebelum kamu ngomong, sebenarnya aku udah yakin kalau si Adam bakal masuk ke kelas kita dan cari Lily!” Emil ikut-ikutan menunjuk wajahku sambil tertawa.