Aku pikir makan malam bersama Dewi adalah klimaks dari segala nestapa yang harus kuhadapi hari ini. Tapi tidak. Itu hanya sebuah appetizer buruk untuk sebuah main course yang jauh lebih buruk lagi, dan aku tidak ingin membayangkan dessert-nya. Aku hanya perlu melewati malam ini dengan kepala dingin dan anggap saja Dewi hanya sebuah boneka yang bisa bicara yang harus kujaga selama satu malam. Ya, satu malam saja dan besok kehidupanku akan kembali normal. Anggap saja ini sebagai balas budi pada Kevin yang masih ingat soal Shizuka Minamotoku.
“Thanks ya Kak udah ngizinin aku tidur bareng Kakak malam ini,” ucap Dewi sambil melangkah masuk ke dalam kamarku. Dia menaruh tas sekolahnya di kursi meja belajar, dan menindih tas sekolahku tanpa perasaan ragu sedikit pun.
“Jagain Dewi ya, Kak. Jangan dibully,” ujar Kevin dari balik pintu. Senyumnya lebar.
“K,” jawabku masih agak ketus. Sulit untuk bersikap manis pada Kevin selama ada Dewi. Lagian sejak kapan dia panggil aku dengan sebutan Kak lagi? Dia sudah berhenti memanggilku Kak sejak bertahun-tahun yang lalu.
Aku lantas mengunci pintu kamar dua kali dan mengambil tas Dewi untuk ditaruh di meja belajar. Tak ingin bertukar kata terlalu banyak dengan Dewi, aku menyerahkan piama pink jersey bermotif garis vertikal dan selembar handuk kemudian menunjukkan letak kamar mandi. Dewi mengangguk dan segera menuju ke sana. Tak lama, kudengar suara air mengalir dari shower dan lantunan lagu yang dinyanyikannya. Aku tidak tahu lagu apa, tapi nadanya terdengar seperti lagu anak-anak. Aku menggelengkan kepala dan bertanya-tanya kapan dia akan berhenti bertingkah sok imut seperti itu.
Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh kurang lima menit. Setelah mengganti baju dengan piama pink satin bermotif bunga sakura, aku membuka lemari meja belajar untuk mengambil tiga kado Valentine’s Day yang sudah kusiapkan: satu untuk Mia, satu untuk Ben, dan satu untuk acara tukar kado. Kecuali kado Ben yang baru kubeli dua hari yang lalu, kado Mia dan acara tukar kado sudah kubeli dan dibungkus sebelum ujian praktek dimulai. Sebenarnya aku dan Mia sepakat untuk tidak bertukar kado pribadi, tapi aku akan tetap memberinya kado. Anggap saja ini kejutan manis untuknya.
Terus terang aku selalu kebingungan menentukan kado untuk Ben. Tidak seperti Mia, Ben tidak pernah menunjukkan ketertarikan yang berlebihan pada apa pun. Tidak ada warna atau karakter film yang bisa memberiku petunjuk. Bahkan hobinya pun tidak begitu jelas. Tapi seperti itulah Ben. Kurasa dia hanya ingin menjalani masa remajanya dengan tenang. Atau mungkin aku tidak mengenal Ben sebaik yang aku kira?
Di dalam lemari itu juga ada satu benda lain yang belum kubungkus, yaitu bingkai foto. Aku membelinya bersamaan dengan kertas surat untuk menulis promposalku dan kado untuk Ben. Tadinya kalau Dika bersedia menjadi prom date-ku, aku berniat menghadiahinya bingkai foto pink berisi fotoku dan dia sewaktu kami pacaran dulu sebagai hadiah Valentine’s Day. Tapi nyatanya harapanku punah seperti abu, jadi itu tinggal rencana. Dengan perasaan getir, aku menutup lemari itu lalu membawa ketiga kadoku dan segulung kertas kado serta selotip dan gunting ke atas karpet di samping tempat tidur. Di sana aku mengembuskan napas untuk mengusir kepedihanku. Detik ini harus menjadi detik terakhir aku memikirkan Dika.
Suara nyanyian Dewi masih terdengar, kali ini tanpa diiringi suara percikan air. Aku meraih iPod di atas tempat tidur dan memutar playlist Everyday Hits untuk membungkam suara menyebalkan itu. Begitu lagu 7 Rings-nya Ariana Grande membahana dan meredam nyanyian Dewi, aku mulai membungkus kado istimewaku untuk Ben.
Tidak seperti tahun sebelumnya, di mana peserta tukar kado yang aku adakan diikuti oleh hampir setengah siswa kelas XI di sekolahku, tahun ini aku hanya mengadakan acara tukar kado dengan teman-teman terdekatku saja. Gara-gara seabrek persiapan ujian, aku tidak punya waktu lagi untuk mengurusi acara tukar kado terbesar seperti yang kuadakan tahun lalu. Itu salah satu event luar biasa yang aku selenggarakan dalam kehidupan SMA-ku.
Aturan tukar kado tahun ini tidak berbeda dengan tahun lalu. Warna kado harus pink atau setidaknya mengandung unsur pink lebih banyak. Alih-alih kertas koran, aku mewajibkan kado dibungkus dengan kertas kado berwarna pink polos. Ini kan Valentine’s Day, harinya warna pink (merah dan putih juga, tapi aku suka pink, so…pink it is), jadi kenapa pakai kertas koran yang warnanya jelek dan kumal? Aku juga tidak menentukan batasan harga kado dan tentunya identitas dirahasiakan. Jadi seseorang boleh memberi kado dengan harga murah atau mahal sekalipun. Di situlah letak keseruannya. Tidak ada yang lebih mengejutkan dari mendapatkan kado besar yang cuma berisikan satu set ikat rambut pink atau sebuah kado mungil dan ringan yang ternyata isinya lima lembar uang rupiah berwarna pink, bukan ungu. Itu benar-benar terjadi di acara tukar kado tahun lalu.
Untuk tukar kado tahun ini, aku membeli Gift Small Japanese Cherry Blossom dari The Body Shop yang terdiri dari body mist dan deodoran. Untuk Mia, aku membeli DVD film original The Grand Budapest Hotel dan I, Tonya yang keduanya memiliki kover warna pink. Sementara untuk Ben, kali ini aku menghadiahinya sesuatu yang bisa dia bawa ke sekolah, di mana aku bisa melihatnya memakai kadoku, yaitu botol minum pink berbahan stainless steel yang estetis. Ini pilihan yang menantang. Ben mungkin enggan menggunakannya di depan umum karena warnanya yang terlalu feminin. Tapi kalau Ben benar-benar menghargaiku, dia pasti akan tetap menggunakannya tanpa peduli apa pun.
“Huah, segarnya kalau udah mandi,” ucap Dewi begitu keluar dari kamar mandi. Beberapa jumput rambut terbebas dari cepolan di puncak kepalanya. “Waaah, Kak Lily lagi bungkus kado untuk Valentine’ Day besok, ya? Isinya apa, Kak?” Dewi berjongkok dan mengambil satu kadoku lalu dikocok-kocoknya. Aku lantas merampas kado itu dari tangannya. “Maaf,” sahut Dewi nyengir. “Di kelasku juga ada acara tukar kado, tapi aku nggak ikutan.”
Aku tertarik untuk mengajukan pertanyaan, tapi tidak kulakukan. Aku tetap fokus membungkus kadoku dan membiarkan Dewi bercuap-cuap sendiri sesuka hatinya.
“Masa harga minimal kadonya harus seratus ribu? Uang jajanku sehari aja nggak sampai segitu,” lanjut Dewi. “Udah gitu bilangnya dadakan, jadi mana bisa aku ikut? Sedih sih nggak bisa ikutan. Untungnya ada Kevin yang ngehibur aku. Dia bilang udah siapin kado spesial buat aku tanpa aku harus kasih kado juga buat dia. Katanya aku cukup bantuin dia bikin cokelat praline di sini. So sweet kan, Kak?”
Aku menarik ujung bibirku dengan enggan sambil mengangkat bahu. Saat itu kadoku sudah selesai dibungkus. Aku berdiri untuk menaruh kado-kado itu di meja belajar sementara Dewi lanjut bercerita. Punggungnya bersandar pada tepian tempat tidur dan tangannya memeluk kedua kakinya yang dilipat.
“Hari ini aku merasa beruntuuung banget bisa bantuin Bunda bikin cokelat praline. Bunda baik banget orangnya. Aku juga seneeeng banget bisa kenal Kakak lebih dekat lagi. Tahu nggak, Kak? Aku diam-diam ngefans lho sama Kakak. Habis Kakak cantik banget orangnya. Kayak Kpop Idol angkatan lama. Itu lho, Krystal Jung.” Sekilas gerak tanganku berhenti mendengar pujian itu. “Kakak juga baik banget sampe ngebolehin aku tidur di sini. Aku tuh sebenarnya nggak ada rencana nginap. Tapi karena keasyikan di sini dan bundaku juga ngizinin, ya udah aku akhirnya nginap. Lagian aku nggak suka tidur bareng kakak cewekku. Dia selalu teleponan sama pacarnya sampai lewat tengah malam. Aku sering nggak bisa tidur gara-gara itu. Dia juga malas bersihin kamar. Selalu aku yang nyapu dan ngepel. Aku bahkan nggak boleh pilih lagu di mp3 player kalau ada dia di kamar. Aku menderita banget pokoknya, Kak.” Dewi terdengar menghela napasnya. “Ah, kenapa aku jadi curhat masalahku di rumah, sih?” Dewi tersenyum kecil. “Ngomong-ngomong, Kevin suka cerita kalau Kak Lily orangnya seru. Aku jadi tambah ingin dekat sama Kakak.”