Kamis, 14 Februari ‘19
“Happy Valentine’s Day everyone!” sapaku ketika sampai di meja makan pagi itu, yang langsung disambut meriah oleh Mama, Kevin, dan Papa. Mereka sudah mulai menyantap menu spesial Valentine’s Day tahun ini, yaitu red velvet waffles. Warnanya yang merah dihiasi beberapa butir raspberry dan krim vanilla benar-benar menggugah seleraku. Dengan tak sabar, aku meneguk jus strawberry segar hingga setengahnya sebagai pembuka. Kadar hormon kebahagian dalam tubuhku semakin bertambah dengan keberadaan rangkaian bunga mawar berwarna pink, merah dan putih di dalam vas di tengah meja makan. Untuk hari spesial ini, kupikir tidak ada salahnya untuk makan lahap tanpa memikirkan berat badanku.
“Dewi mana?” tanya Kevin.
“Masih mandi,” jawabku lalu menyuap waffle ke dalam mulut dan mengabaikan fakta bahwa Kevin kembali memanggilku Lily. Aku tidak punya banyak waktu.
“Jiahh! Dia selalu aja telat. Gue bisa ikutan telat kalau gini. Mana hari ini giliran piket.”
Senyumku tersungging. “Enjoy! Dia habis konser semalaman. Gue nggak bisa tidur, tahu nggak?” Ayah dan Ibu tertawa mendengar keluhanku. “Eh, dia suka nyanyi lagu apaan, sih? Kayak lagu anak-anak gitu. So childish.”
Kevin tergelak. “Pasti lagu Hey Tayo. Dia sering tanpa sadar nyanyiin lagu itu.”
“Itu salah satu kartun kesukaannya Zoe juga, lho,” kata Ibu. “Kalau Dewi ketemu Zoe mungkin mereka bisa langsung jadi best friend.” Kevin dan Papa tertawa, tapi aku hanya mendengkus pelan sementara mulutku sibuk mengunyah.
“Nanti jam berapa Maya jemput kamu?” tanya Papa pada Mama.
“Jam tujuh,” jawab Mama. “Tapi kayaknya dia telat, deh. Zoe katanya suka rewel kalau pagi-pagi. Oh iya, Ly.” Mama menoleh padaku. “Nanti sore jangan lupa konsul dress di tempatnya Tante Sovie. Mama udah booking jam lima. Pulang sekolah langsung ke sana ya.”
“Oh my God, lupa! Untung Mama kasih tahu. Nanti Mama nunggu di sana, kan?”
“Iya, dong. Mama harus tahu kamu pilih model yang seperti apa.”
“Betul!” Papa menunjukku dengan garpu yang dipegangnya. “Putri kesayangan Papa nggak boleh pake baju yang terlalu terbuka.”
Aku mencibir sebentar. Tiba-tiba terdengar suara berdebum-debum di lantai dua. Itu pasti langkah kaki Dewi. Aku menegakkan punggungku dan semakin mempercepat kunyahanku. Aneh saja rasanya harus bertemu kembali dengan Dewi di meja makan ini, terutama setelah aku mengadu pada Kevin soal konsernya semalam.
“Semua cokelatnya udah dimasukin tas kan, Ma?” tanyaku dengan mulut penuh waffle.
“Udah beres. Kamu tinggal bawa aja.” Mama lalu meringis melihatku. “Pelan-pelan dong makannya, Sayang. Masih banyak waktu. Hari ini kamu jadi berangkat bareng Papa?”
Aku mengangguk cepat. Suara kaki Dewi kini terdengar menuruni anak tangga, membuat jantungku berpacu semakin cepat. Meski belum lembut benar, aku berusaha menelan waffleku lalu mendorongnya dengan tegukan jus strawberry hingga tandas.
“Pagi semuanya! Maaf ya Dewi telat.” Suara sok imut Dewi tetap mengejutkanku sekalipun aku sudah menduganya. Rambutnya sedikit basah dan wajahnya polos tanpa makeup. Harum tubuhnya serupa denganku. Ya, tentu saja. Dia pakai rangkaian perawatan tubuh British Rose koleksiku. Semalam hal ini tidak begitu kupusingkan. Namun rasanya aneh berada di antara keluargaku sementara aku dan Dewi memiliki harum yang sama. Aku jadi semakin tak sabar untuk pergi dari sana.
“Nggak apa-apa. Ayo duduk.” Mama menawarkan dan di saat bersamaan aku berdiri.
“Tunggu bentar dong, Sayang. Papa kan masih makan,” ucap Mama padaku, namun kuabaikan. Dengan langkah panjang, aku pergi menuju kitchen island untuk mengambil shopping bag besar berisi cokelat praline. Tak lama Mama sudah berada di dekatku untuk mengecup pipiku. Papa pun terlihat bergegas.
“Have a great Valentine’s Day,” ucap Mama sambil tersenyum lembut. Aku mengangguk dan balas mengecup pipinya.
Emil sudah menungguku di dekat gerbang sekolah ketika aku turun dari mobil. Di tangannya terdapat setangkai bunga mawar warna pink. Aku memang menyuruhnya untuk membantuku membagi-bagikan cokelat praline. Tubuhnya yang tinggi besar bisa kuandalkan untuk membawakan shopping bag-ku.