Jam dinding menunjukkan pukul 04.35 pagi, aku terbangun dari tidurku, ternyata Aira pun sudah terbangun. Aroma khas kopi kesukaanku sudah mulai tercium dari sisi ruang keluarga. Aku mengusap kedua mataku, dan beranjak dari sisi tempat tidurku.
Aku berjalan keluar kamar, tersimpul senyum manis Aira, yang terlihat dari balik mukena warna kream nya. Sungguh cantik bidadari surgaku.
“Mas wudhu dulu ya, sudah wudu Neng?”
“Sudah Mas, baru saja selesai wudhu, Aira tunggu ya kita Shalat bareng.”
Air subuh ini terasa lebih hangat, dan handuk sudah tersedia di sisi kamar mandi terletak di rak oleh Aira, aku niatkan mandi saja sebelum wudhu. Karena aku harus bergegas pagi ini. Pasti Aira masih menunggu aku di kamar, tidak mungkin dia meninggalkan aku sholat untuk berjamaah.
***
Alhamdulillah, dua rakaat sudah kami laksanakan, Aira mencium tangan kananku, tak lupa aku pun khusyu berdoa, kepada Allah aku titip kan istri dan anakku begitupun hidup dan mati kami. Aira pun berdiri, sedikit tertatih dan hampir keserimpet. Dan aku membantu dia duduk di sisi tempat tidur.
“Neng, ini ATM gaji Mas, pegang ya ATM yang ini. Nanti neng kirim saja sebagian untuk mas kalau masih di Palestina, Mas juga sudah siapkan dana cash untuk operasional kemaren.”
“Gimana Mas kalau nanti darurat di sana, apa Mas susah ambil dana?”
“Semua sudah di tanggung oleh team Neng, Mas enggak harus pusing pikir ini dan itu lagi, tugas Mas hanya satu meliput berita, beres.”
“Iya Mas.”
Cling... terdengar suara lembut yang menggelinding di lantai kamar kami.
“Ya Allah...”
“Apa itu yang jatuh Neng? “
“Cincin, cincin pernikahan kita Mas, jatuh ke kolong kasur.”
Tampak wajah sedih Aira, dia terus nungging-nungging berusaha mencari cincinnya.
“Coba, biar Mas yang coba carikan Neng, sebentar ya Mas cari sapu dulu, duduk sana sana ibu hamil...”
Dia pun bergeser dari sisi tempat tidur, dia menunggu aku di atas tempat tidur. Dan aku sibuk mencari ke beberapa sisi.
“Neng Aira, belum ketemu cincinnya, sudah, nanti Mas bilang ke Hari, atau si mbok ya untuk Carikan cincin kamu yang jatuh.”
“Tapi Mas, itu kan cincin pernikahan kita, mana mas mau pergi, malah jatuh lagi, bodohnya aku, kenapa harus aku lepas.”
“Kalau sudah sempit enggak apa-apa Aira, kamu lepas saja biar jari kamu enggak sakit, kalaupun nanti hilang atau nggak ketemu kalau ada dana Mas akan belikan lagi untukmu.”
“Tapi Mas, kalau hilang pamali kata ibu, itu cincin nikah kita.”