Hari ini hujan turun sangat deras, jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Namun, hujan belum kunjung mereda. Ini adalah hari pertama Liana masuk sekolah dasar. Jarak sekolah dasar dengan rumah nenek tidak begitu jauh. Namun, memungkinkan memakan waktu sekitar 20 menit dengan berjalan kaki.
“Haduhh ... bagaimana ini? Padahal cucu Nenek sudah kelihatan sangat rapi dan manis. Nenek ingin sekali mengantar Liana dengan sepeda kesayangan Nenek, namun dengan kondisi seperti ini ... Nenek takut Liana malah kenapa-napa di jalan. Apa kita harus menunggu beberapa menit lagi?” tanya Nenek yang sedari tadi mondar-mandir sambil melihat ke luar teras untuk memastikan apakah hujannya sudah reda atau belum.
“Tak apa, Nek. Liana rasa terlambat sedikit juga tidak masalah ....”
“Tapi ... uhuk, uhuk ....”
“Nenek! Nenek tak apa?!” Liana bergegas membantu neneknya duduk.
“Tak apa ... jangan khawatirkan Nenek, hujannya mungkin sebentar lagi akan reda ... ayo kita masukkan bekal Liana terlebih dahulu.” Nenek tersenyum sambil berusaha berdiri. Namun, Liana spontan menggenggam lengan neneknya dengan kuat.
“Tak perlu, Nek. Biar Liana saja yang mengambilnya. Nenek beristirahatlah ... tunggu sebentar ya, Nek. Liana akan mengambil selimut.” Liana pun bergegas, meninggalkan Nenek yang tertegun menatapi punggung cucu kesayangannya.
Nenek mengalihkan pandangannya, menatapi rintik-rintik hujan lewat pintu kayu yang terbuka dengan luas. “Liana adalah anak yang baik, bagaimana bisa Randy dan Maryne memperlakukannya seperti ini? Aku ... aku harus menanyakan hal ini kepada mereka.”
“Nek? Nenek?” Liana mengayun-ayunkan lengan neneknya, seketika membangunkan Nenek yang terhanyut dalam lamunannya. “I-iya ... iya, ada apa, Sayang?
“Tampaknya hujan mulai reda, Liana akan berangkat sendiri dengan memakai payung, Nenek beristirahatlah,” ucap Liana sambil menyelimuti neneknya.
“Apa?! Tentu saja Nenek akan ikut dengan Liana, ini kan hari pertama Liana, bukan? Apalagi sekarang sudah pukul 7 lewat! Bagaimana kalau gerbangnya sudah dikunci?” balas Nenek khawatir.
Liana menggelengkan kepalanya. “Tak apa, Nek. Liana tidak mau merepotkan Nenek, apalagi melihat kondisi Nenek yang seperti ini ... Liana tidak mau Nenek kenapa-napa. Liana sangat sayang pada Nenek ... hanya Nenek keluarga Liana satu-satunya.” Dengan secepat kilat Liana langsung memeluk neneknya, berharap neneknya mau mengerti.
Nenek mengelus lembut kepala Liana. “Baiklah, Nenek mengerti. Tapi tetaplah berhati-hati di jalan ... apa Liana masih ingat jalannya?”
Liana mengangguk pelan. “Tentu! Liana masih ingat betul jalan menuju sekolah ... saat pendaftaran, Liana berusaha untuk menghafal setiap tempat yang dilalui untuk dicatat ke dalam Pinky!”
“Pinky? Oh! Buku yang Nenek berikan waktu itu?” Nenek pun tertawa kecil dan mencubit pipi cucunya gemas. “Baiklah, Liana ... tampaknya cucu manis Nenek sudah bisa berangkat sekarang. Berhati-hatilah di jalan, selalu lihat kiri dan kanan ... waspada pada kendaraan, mengerti?”
Liana bangkit berdiri dan menghormat. “Baik, Nek!” Sambil menyandang tasnya, Liana bergegas memakai sepatunya.
Nenek menghampiri Liana sembari membukakan payung. “Semangatlah, Liana ... jangan lupa bersikap ramah dan akurlah dengan teman-teman seusia Liana.” Nenek menyerahkan payung yang sudah terbuka pada Liana.
“Baik, Nek! Nenek juga hati-hati di rumah, banyaklah beristirahat. Sampai jumpa, Nek!” Liana pun melangkahkan sepatu putih bersih miliknya menyusuri tanah yang masih becek itu.
Saat sudah berada di depan pagar, Liana melambaikan tangannya kepada Nenek. Saat menerima respon lambaian dari neneknya, Liana pun mulai berlari menuju arah ke sekolahnya.
“Wah ... pagi, Liana! Sudah masuk sekolah, ya?!” tanya Bibi Ramah, salah satu pemilik toko kelontong, tempat neneknya sering berbelanja.
Liana membalas dengan tersenyum kecil dan mengangguk. “Berhati-hatilah, Sayang. Jalanan masih becek ... jangan berlari atau nanti kau akan tergelincir.”
“Baik!” Liana pun mulai menurunkan kecepatan berlarinya.
Selama perjalanan, Liana terus memikirkan momen-momen apa yang akan dia ceritakan pada Pinky nantinya. Tak terasa awan sudah tidak menangis lagi, Liana pun memutuskan untuk menutup payungnya terlebih dahulu. Setelah selesai, ia kembali berjalan, diikuti oleh matahari yang mulai keluar dari tempat persembunyiannya.
Saat Liana mulai berbelok, ia sudah dapat melihat pantulan cahaya matahari dari gedung besar milik sekolahnya. Namun, pandangan Liana terfokuskan pada seorang anak laki-laki yang berdiri tepat di depan gerbang sekolah.
“Celaka! Apakah gerbangnya sudah dikunci?” pikir Liana sambil berlari menuju gerbang.
Namun, karena jalanan masih becek, Liana tidak dapat memperlambat kecepatannya lagi dan didetik berikutnya ia tergelincir dan hampir menabrak anak laki-laki itu.
“Aww ...” Liana terjatuh dengan posisi tidur terlentang, sontak membuat bocah laki-laki itu kaget dan melihat ke arahnya.