KRINGGG!!
Bel masuk sudah berbunyi, diharapkan kepada semua siswa yang sudah mengetahui ruang kelasnya segera masuk sekarang juga..
Di depan mading sekolah,
“Uhh ..., aku tidak bisa melihatnya, ramai sekali,” pikir Liana yang berusaha untuk menyelinap masuk ke dalam kerumunan siswa, namun gagal. Sambil menghela nafas panjang, Liana memutuskan untuk menunggu di pojokan sampai semua siswa bubar.
Beberapa menit berlalu, semakin banyak siswa lainnya yang tiba-tiba datang mengerumuni mading. Liana hanya bisa kembali menghela nafas. “Mau sampai kapan ini berakhir ....”
“Hei! Kelasmu berada di samping kelasku, ayo bergegaslah!”
Liana melihat ke arah suara berasal. “Oh ..., Lo—“ Leon langsung membungkam Liana dengan kedua tangannya. “Hussh ..., jangan keras-keras! Panggil Leon saja kalau lagi rame ....”
Liana tertegun. “Hm? Kenapa wajahnya ....” Beberapa menit kemudian Leon melepaskan tangannya. “Ayo!”
“Um ..., Leon. Apa kau demam?” tanya Liana sambil memiringkan kepalanya.
“Hah?” Leon terheran-heran, seketika meletakkan telapak tangannya pada keningnya sendiri untuk mengecek suhu tubuhnya. Sambil menggelengkan kepala. “Tidak ..., suhu tubuhku normal, dari mana kau bisa tau kalau aku ini sedang demam, Li-ana?”
Liana mengerjapkan matanya berkali-kali. “Tapi wajahmu memerah padam, biasa saat nenekku demam, wajahnya juga seperti itu ... tapi wajahmu kelihatan seperti habis memakan sesuatu yang luar biasa pedas.”
Leon menepuk jidatnya. “Lupakanlah ..., ayo kita ke kelas.”
Sesampainya di lantai 2, Leon mengantarkan Liana di depan kelasnya “1A”. Sambil menepuk pundak Liana, Leon berjalan lurus menuju kelasnya yang bersebelahan. Meninggalkan Liana yang tengah berdiri mematung menatapi pintu coklat muda di hadapannya.
“Apa yang harus ku lakukan?? Aku, aku takut ..., tidak ada Leon ... aku tidak berani.”
Liana membalikkan badannya. Sambil berpikir keras. “Aku harus menenangkan diriku, aku harus bisa! Ayo semangat, Liana! Pegang kenop pintu itu lalu putar! Tidak ... tidak ... ketuk pintu itu lalu bilanglah permisi .... Iya! Baru putar kenopnya.” Liana mengangguk pelan berusaha menyemangati dirinya, sambil mengepalkan kedua tangannya di depan dada lalu menghela nafas panjang.
Liana pun berbalik saat tekadnya sudah bulat. “Apa yang kau lakukan, Nak?” Pintu sudah terbuka, terlihat seorang Ibu Guru memakai kacamata yang tengah melipat kedua tangannya. “Oh ..., bukankah, ini Ibu Guru yang kemarin?” pikir Liana masih menatapi wajah guru di depannya itu.
Sambil menghela nafas kecil. “Masuklah ..., teman-temanmu sudah menunggu.”
Liana menganggukkan kepalanya dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas.
“Baiklah anak-anak, ini teman kalian yang terakhir, ayo perkenalkan dirimu pada teman-teman semuanya.”
Liana menundukkan kepalanya, sambil meremas telunjuk jarinya. “Hai semuanya, namaku Liana Marybell.”
“Waahhh!!”
“Li-ana?”
“Lucunyaaa ....”
Seorang anak perempuan mengangkat telunjuknya. “Iya, Rayna?” tanya Ibu Guru.
“Umm ..., Li-ana. Bisakah kau menceritakan tentang dirimu pada kami?” tanya Rayna malu-malu.