Hari ini aku tidak masuk sekolah karena harus menemani Nenek ke puskesmas terdekat.
Sesampainya di puskesmas, Nenek menyuruhku untuk menunggunya di bangku yang ada disana, aku hanya menganggukkan kepalaku dan membiarkan Nenek masuk ke ruangan itu sendirian.
Sambil menatapi sekeliling puskesmas, aku hanya bisa tersenyum hangat. Puskesmas hari ini terlihat sepi, aku bisa menghitung pengunjung hari ini dengan jariku, namun tiba-tiba aku tertegun dari lamunanku saat kulihat ada beberapa suster yang dengan cepat melewatiku. Kulihat ke arah suster itu pergi, ternyata mereka menuju arah pintu masuk puskesmas.
“Hm? Apa yang sedang terjadi?” pikir Liana, masih menatap ke arah pintu masuk itu.
Detik berikutnya pintu masuk itu terbuka dan terlihat seorang bapak yang tengah menggendong seorang anak laki-laki dengan diarahkan oleh kedua suster itu. Bapak itu mempercepat langkahannya melewatiku, sekilas kulihat wajah anak laki-laki yang dibawanya. Namun wajahnya tidak terlihat begitu jelas, yang kulihat hanyalah warna merah pekat yang mengalir dari wajah hingga sekujur tubuhnya, bahkan tetesan merah pekat itu hampir mengepel lantai puskesmas dari pintu masuk.
Darah? Iya, benar ini adalah darah. Aku menggelengkan kepalaku pelan, seketika aku merasa kepalaku mulai berat. Pandanganku mulai kabur. Aku menutup kedua mataku, menyandarkan kepalaku pada bangku besi yang kududuki. Berusaha tetap tenang, menarik nafas pelan dan membuangnya keluar, hingga aku merasakan tepukan seseorang pada pundakku.
“Kau tak apa, Nak?” tanya seorang suster yang menatapiku dengan ramah.
Aku hanya membalas dengan menggelengkan kepalaku. “Apa mungkin kamu phobia dengan darah ya? Soalnya wajahmu pucat sekali, kalau ada yang sakit ... katakan saja,” tawarnya ramah.
“Liana? Kau kenapa, Nak? Wajahmu pucat sekali!” Suara ini adalah suara Nenek. Aku melihat Nenek yang langsung menghampiriku dengan panik, belum pernah aku melihat Nenek sepanik ini. Aku berusaha tersenyum hangat. “Liana tak apa, Nek! Nenek sudah selesai?”
Nenek hanya mengangguk pelan dan mengelus kepala Liana. “Iya ..., Nenek sudah selesai, maaf membuat Liana menunggu terlalu lama.”
Liana menggelengkan kepalanya. “Ti-tidak! Hehe ... Nenek tidak lama kok, kalau begitu kita kembali saja.” Sambil beranjak turun dari bangku, Liana membungkuk kepada suster yang sedari tadi masih berdiri di dekatnya. “Terima kasih atas tawarannya, Kak. Aku baik-baik saja! Sampai jumpa! Aku harus menemani Nenekku pulang!”
Suster itu hanya bisa tersenyum lembut dan mengelus kepala Liana pelan. “Baiklah, jaga kesehatanmu dan Nenekmu ya, Nak!”
Liana mengangguk mantap dan menggandeng Neneknya keluar dari rumah sakit, berusaha untuk tidak menunduk agar tidak melihat bercak darah yang masih belum di pel itu.
“Liana yakin, Liana tak apa? Kita masih di puskesmas, Nak. Kalau ada yang tidak enak, katakan pada Nenek, oke?”
“Iya, Nek! Liana benar-benar tidak apa! Jangan khawatir, Nek. Mungkin Liana hanya lapar saja, jadi agak pusing.”
“Oh ..., kalau begitu, kita beli mie yang ada disana saja, bagaimana? Soalnya Nenek belum masak, kalau menunggu Nenek masak, nanti Liana malah kelaparan,” canda Nenek membuat Liana tertawa pecah. “Baiklah, Nek! Nenek tau saja ... hehe ....”
Hujan turun dengan lebat, Liana memanfaatkan momen ini untuk mengerjakan PR sekolahnya, sambil membawa buku dan alat tulisnya ke ruang tamu.
“Liana ..., kamu sedang apa, Nak?” tanya Nenek yang sedang duduk santai.
“Oh ... ini, Nek! Liana mau mengerjakan PR untuk hari Senin.”
“Lha? Bukannya besok hari Minggu, Nak?”