Namaku Liana Marybell, panggil saja aku Liana. Hari ini aku sedang membereskan semua pakaianku ke dalam koper. Ya ... hari ini aku akan tinggal dengan nenekku ... pergi dari tempat yang disebut-sebut istana oleh kakakku.
Jika ada yang bertanya kepada orangtua, lebih sayang kepada anak sulung atau anak bungsu? Pasti kebanyakan orang tua akan menjawab anak bungsu. Kenapa? Karena anak bungsu masih labil dan membutuhkan kasih sayang ekstra untuk pertumbuhannya kelak, atau karena anak sulung adalah kakak yang harus menjadi contoh agar adik-adiknya bisa lebih mandiri atau semacam pedoman untuk adik-adiknya.
Pasti jawabannya anak bungsu, kan? Tapi entahlah, aku tidak tau pemikiran orang lain. Mungkin jawabanku 90% salah dan 10% benar, karena aku selalu salah dan memang harus begitu.
“Liana?! Lianaa!”
“Iya, Nek!! Aku sudah hampir selesai!”
Beberapa menit kemudian. Aku turun dengan menyeret koperku. “Tetaplah kuat, ini adalah pilihanku, bukan?” pikirku berusaha menyemangati diri. Kuangkat kepalaku saat koper merah jambuku berhasil menyentuh lantai bening mengkilap itu.
Tidak ada yang peduli. Mereka sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing, ayahku duduk di ruang makan dan sibuk mengusap-usap gadgetnya.
Aku berusaha melihat sekeliling lagi untuk mencari ibuku. Namun hasil penglihatan yang kudapat hanyalah dia ... si nomor satu, Lianne Marybell. Tampaknya kakakku sedang asyik bermain dengan boneka-boneka koleksi termahalnya, dia bahkan tidak peduli bahwa adik satu-satunya sebentar lagi akan keluar dari rumah ini ... akan menjauh dari kehidupan mereka ... selamanya.
“Randy! Maryne! Ibu akan pergi!”
Tidak ada sahutan dari ayah. Ayah benar-benar tidak peduli. “Apakah aku tidak seberharga itu?”
Kulihat ibu berjalan keluar dari dapur. Aku tersenyum kecil. Namun, ibu hanya menoleh sekilas sambil mengaduk-aduk minumannya ... teh? kopi?
Aku berusaha untuk memanggilnya, namun tenggorokanku terasa sangat kering. Ibu pun berbalik menuju sofa ruang tamu, meletakkan minumannya di meja dan kembali menatapi layar laptop.
Aku menyesal karena sudah berpikir terlalu jauh, berharap ibuku akan khawatir dan melarangku untuk pergi. Aku ... hanya berharap terlalu lebih. Inilah kenapa aku tidak mau berharap, hasilnya ... benar-benar menyakitkan.
Kadang aku berpikir, ‘apa salah ku?’ aku hanya seorang gadis kecil yang masih berusia 7 tahun, namun aku diperlakukan begitu buruk dari kakakku. Aku ini anak bungsu. Bukankah, tidakk ... tampaknya jawabanku 100% salah. Ayah dan ibuku hanya menyayangi kakakku, kalau begitu kenapa aku harus dilahirkan? Kalau pada akhirnya hanya nenek yang peduli padaku, hanya nenek yang khawatir padaku, hanya nenekku yang mau membelikanku boneka, hanya nenek ... dan hanya nenek.
“Liana?” panggil nenekku lembut saat kami sudah berada di dalam taxi.
“Iya, Nek?” sahutku.
“Kau yakin ini pilihan yang tepat? Kita masih bisa berbalik ....”
Aku menggelengkan kepalaku. “Tidakk ... aku tidak mau kembali ke sana ... di sana ... aku bukan siapa siapa ....” Aku kembali menatapi jalanan melalui kaca mobil.
Nenek mengelus rambutku pelan. “Kau gadis yang kuat, Nak .... Ntah apa yang ada dipikiran orangtuamu, sampai-sampai mereka tega melakukan ini padamu.”
Aku hanya tersenyum kecil. “Terima kasih, Nek.”
***
Sesampainya di depan rumah nenek. Rumah nenek memang tidak sebesar rumah mereka, ini hanya rumah sederhana yang berasal kayu. Lebih spesifiknya rumah nenek mirip dengan rumah tradisional di Jepang, ada pekarangan, kolam ikan dan taman bunganya juga. Mungkin aku tidak akan bosan di sini.
“Ayo. Nenek akan tunjukkan kamarmu, Sayang.”
“Baik, Nek.”