“Waalaikumsalam, Tiara!” Han menjawab ponselnya.
“Tebak Tiara di mana, Mas?” Hati Tiara selalu menjadi baik jika sudah mendengar suara Han. Itu terlihat jelas dari bibirnya yang tak kunjung lepas menggantung senyuman, bahkan sampai nanti paska telepon itu ditutup, ia pasti masih tersenyum sendiri seperti orang gila.
“Di rumah saya, ‘kan?” tebak Han dengan sangat mudah. Ia hapal sekali dengan tingkah Tiara selama bertahun-tahun. Dia tidak pernah menyerah, selalu beredar di sekitar Han dan juga keluarga Han. Tidak peduli, meski Han lebih sering mengabaikannya.
“Loh, kok tahu?” Antara polos dan bodoh, Tiara membuktikan bahwa cinta itu berbahaya bagi nutrisi otak.
“Tiara, Kamu itu hampir setiap akhir pekan ke rumah saya!” Tawa kecil Han muncul.
Yang ditertawakan biasa saja. Malah, Tiara masih cengar-cengir tidak jelas.“Haha, iya juga.” Tawa itu terdengar garing.
“Saya sudah jalan menuju pulang.” Han mencoba memberi hadiah dalam bentuk ketenangan batin. Tiara melompat kecil kegirangan.
“Mas, Tiara buru-buru. Soalnya nenek minta jemput di bandara. Gak apa-apa kan gak ketemu Tiara?” Entah ini bisa dikatakan sistem tarik ulur sesuai dengan konsep yang tertulis di buku pegangan wajib Tiara, Trik Membuat Lelaki Jatuh Hati. Tiara berusaha membuat Han klepek-klepek sesuai trik yang dibacanya.
“Gak apa-apa,” jawab Han cepat dan santai.
“Kok jawabannya begitu!” Trik di buku itu baru saja membuatnya kecewa. Jelas yang salah adalah penulis buku itu. Dasar penulis unfaedah.
“Loh, jadi harus bagaimana?” tanya Han geli. Ia berjalan sambil tersenyum. Ada-ada saja Tiara ini. Biarpun begitu, tingkah lucunya sering membuat hari-hari Han menjadi lebih berwarna. Ia merasa terhibur dikejar-kejar oleh seorang gadis kecil.
“Katakan, tunggu sebentar, lah! Mau Mas temeni, lah! atau apalah!” rengek Tiara. Bibirnya maju beberapa centi. Tangannya sudah terlipat untuk mengurangi rasa kesal. Andai ia tahu itu tidak berhasil, ia tidak akan berpura-pura menjemput neneknya ke bandara. Nenek siapa yang mau dia jemput? Nenek dari ke dua orang tuanya sudah mati.
“Terlalu kekanak-kanakan….” Han menahan tawanya. Lucu sekali gadis ini. Han juga tahu Tiara sedang berdusta. Mana mungkin Han tidak hapal silsilah keluarga inti Tiara yang acap kali dipersentasekan, meski tidak diminta.
“Tuh, kan Bu, Mas Han gak peka.” Tiara merengek kepada Ibu Han, Aminah.
Aminah mengusap kepala Tiara lembut. Sebuah potongan kue hangat diletak di depan Tiara. Rasa kesal memang memenuhi dada Tiara, tetapi tidak di bagian perutnya. Kue itu lenyap dalam sekian kedipan.
“Sudah dulu!” Han hampir menutup pembicaraan tersebut.
“Tunggu, Mas!” cegah Tiara. Ada hal urgent yang harus ia sampaikan,”Mie rebus yang Mas buat, sudah Tiara makan dengan baik. Rasanya enak. Terima kasih, ya, Mas.” Itulah hal urgent yang dimaksudkan.
"Sama-sama, Tiara,” balas Han, lalu benar-benar mematikan sambungan telepon.
“Anda mencari saya?” tanya seorang wanita tua, kisaran umur lima puluh tahunan, ketika bergabung duduk di kursi ruang runggu sebuah kantor dinas pariwisata. “Sepertinya saya tidak mengenal anda,” gumam wanita itu.
“Saya Han dari perusahaan Ibu Dee, PT Glowing….”