Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Lambung Dee riuh rendah seolah tengah bergemuruh menyambut genderang mau perang. Lapar sekali. Terakhir dia makan adalah tadi siang.
Mie Rebus Spesial untuk Dee
Sebuah stiker memo ditempelkan lekat di tutup rantang hijau di atas meja. Tanpa pikir panjang, Dee langsung membuka rantangnya dan melahap perlahan mie rebus tersebut.
“Hmm...,” gumam Dee menaikkan alis, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, merasa puas atas cita rasa masakan tersebut. Ia terus melahapnya hingga tidak bersisa walau hanya sebatang toge. Bersih mengkilap tanpa noda.
Malam itu, Dee lama terduduk di kursi dan menatap meja makannya. Entah apa yang ia pikirkan. Makanan buatan Han sudah sejak tadi habis. Namun, ia masih juga memutar-mutar sendoknya. Begitulah Dee, ia memiliki ritual sendiri sebelum beranjak istirahat. Contohnya saja, menikmati rasa khawatir tentang masa depan, mengingat-ingat kembali kesalahan beberapa karyawan perusahaan, lalu sibuk dengan alur pemikirannya pribadi tentang konspirasi alam semesta.
“Iya, halo.” Dee mengangkat sebuah panggilan dari telepon genggamnya.
Dee terdiam. Lima menit berjalan sampai akhirnya panggilan tersebut ia matikan tanpa sepatah katapun. Dee kemudian menggeliat merentangkan tangannya, lalu beranjak meninggalkan meja, mematikan lampu dan berjalan perlahan di anak tangga menuju kamar tidur mewah di rumah besar miliknya. Dimana, penghuninya hanya dia sendiri. Semua pembantu, tukang kebun, hingga supir pun ia suruh kerja harian. Dee adalah simbol penyendiri. Bahkan, seekor kucing pun enggan ia jadikan teman.
“Maaf!” kata Dee berbicara sendiri saat sadar telepon genggamnya berdering lagi. Ia tidak mengangkatnya, tetapi langsung memadamkannya. Dee lantas rubuh di atas sebuah kasur besar yang sangat empuk dan nyaman.
Itu panggilan dari Baim. Putra sulung dari Menteri Perdagangan Republik Indonesia saat ini. Baim adalah salah satu dari puluhan pria yang mencoba peruntungannya dengan hati Dee. Sayang, sampai malam itu, tidak ada juga pria yang berhasil. Dee seolah tidak pernah memikirkan makna cinta, apalagi sebuah pernikahan. Baginya, karir adalah pasangan yang paling ideal.
Air mata Dee menetes di bantal, lalu ia pun bergumam sendiri, “Akan kubuat mereka menyesal,” lirihnya sesaat setelah lama tertegun. Tiba-tiba saja kenangan menyakitkan dari masa lalu kembali di pikiran. Masa-masa dimana kedua orang tuanya semakin sering bertengkar hebat. Siapa yang menyangka kejadian puluhan tahun yang lalu masih terasa menyakitkan?
Ibunya wafat dan ayahnya memperkenalkannya dengan seorang wanita yang orang-orang sebut sebagai penyebab pertengkaran kedua orang tuanya sekaligus penyebab kematian ibunya.
Wanita yang sangat diingat Dee di dalam kepalanya. Tidak hanya wajah, tetapi juga bau parfum yang pertama kali wanita itu pakai saat menjabat tangannya. Wanita yang terlihat di foto profil Kirana di berbagai media sosial bersama dengan Ayah kandungnya.
**
Berbeda dengan Dee yang kini sudah tertidur pulas dalam balutan baju kantor yang belum ia ganti. Han masih belum juga bisa tidur dengan piama biru yang telah disetrika rapi oleh ibunya. Terbayang saat pertama kali melihat Dee semasa kecil. Sangat cantik.
Saat ini, Han sedang tersenyum-senyum sendiri membayangkan masa-masa di bangku sekolah dasar. Saat pertama kali guru wali kelas mereka memperkenalkan Dee sebagai murid baru di kelas. Wajah Dee bersinar seperti malaikat. Cantik dan memikat.