Lantai delapan PT Glowing Now Department Store Tbk.
Sudah hampir satu jam lebih, Dee berdiam diri di ruang kerjanya. Yang ia kerjakan adalah mempelajari penguasaan marketing digital terkini. Tidak lama kemudian, ia jenuh dan iseng membuka file galeri foto. Jemarinya menghentak tuts komputer untuk masuk ke dalam file tersebut.
Dee lestari
Itu kata sandinya.
Kedua orang tuanya yang memberi nama itu. Namun, sejak kepergian Roya Ibunya dari dunia ini, Dee tidak pernah memperkenalkan dirinya dengan nama selengkap itu. “Dee” itulah nama yang diamininya.
“Papamu itu sudah gila, ya? Beraninya dia membawa perempuan simpanannya ke acara berkabung,” ujar salah seorang sanak saudara dengan kesal, “Harusnya dia tidak membawanya.” Wajah-wajah kesal mereka masih terekam dengan baik di kepala Dee.
Saat itu Dee belum terlalu mengerti dengan istilah Perempuan Simpanan. Yang ia tahu, wanita yang dimaksudkan itu sangat ramah pada awalnya.
Anggabaya Ayah kandungnya ternyata sudah menikah, jauh sebelum kejadian mengenaskan itu terjadi. Roya meninggal di sebuah kecelakan pesawat. Hampir seluruh pihak mengutuk Anggabaya dikarenakan pernikahan sirinya, tetapi Dee kecil tidak bisa memberi respon apa-apa selain diam.
Saat Dee beranjak dewasa, ia memilih untuk bersekolah di luar negeri. Ia bertekad pergi menjauh dari orang terdekatnya dan belajar untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dengan caranya.
Dee mendapatkan warisan terbesar dari kekayaan Roya. Bisa dikatakan, Roya seperti sudah mengetahui gelagat Anggabaya, lalu menyerahkan semua hak kekayaan kepada anak semata wayangnya. Anehnya, Anggabaya tidak keberatan. Ia bahkan menangis memeluk Dee saat Dee memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Dee sangat membenci semua gunjingan orang tentang Anggabaya. Namun, Sayang, semua gunjingan itu masuk akal.
“Kopi, buk,” kata seorang Office Boy saat menaruh cangkir antik berwarna coklat muda di meja Dee. Seperti biasa, Dee enggan menjawab. Kali ini pandangannya berhambur ke luar kaca gedung.
“Permisi, Buk.” Ia menundukkan badannya saat berjalan ke luar ruangan, lalu menutup pintu ruangan Dee dengan sangat hati-hati.
“Ibu ada?” tanya Han.
“Ada, Pak,” jawab OB yang baru 3 detik keluar dari ruangan.
“Oh, terima kasih,” ujar Han saat sudah hampir masuk ke dalam ruangan.
Pintu itu ditutup dengan suara. Si OB tadi memajukan muka dan menaikkan bahunya spontan saat mendengar pintu Dee tertubruk saat ditutup. Ia berjalan cepat dan berharap segera menghilang agar tidak terkena masalah.
“Dee, kita ada proyek baru.”
“Hmm….”
“Hey, baca dulu proposalnya! Aku yakin kerja sama ini adalah proyek briliant.”
“Letakkan saja di sana!” Dee menunjuk mejanya dan tetap tak mau beranjak dari sofa mewah di depan kaca gedung.
“Dee!”
“Hmm….”
Pandangan Dee tetap kosong ke arah jendela kaca.
“Tawaran Mr Fernandes tentang saham itu apakah sudah kamu putuskan?”
Dee diam saja.
Han mulai kesal. “Dee!” Dia memperhatikan wajah Dee.
Dee masih diam, tetapi kali ini, ia mengarahkan tangannya ke pintu keluar. Han menarik napasnya dalam, lalu mengeluarkannya saat berjalan meninggalkan Dee. Sekilas, Han melihat benda yang berada di depan Dee layar laptop. Ada kumpulan foto gadis kecil di sana, ada juga foto keluarga Dee saat ia masih balita. Han, lalu keluar menuju meja kerjanya tanpa memikirkan apa-apa lagi.
**
“Pagi, Mas!” Senyum tiara menyambut.
“Pagi.” Han menjawab ramah.
“Ini aku buatkan teh spesial untuk Mas Han.”
“Terima kasih, Tiara.”
“Mas mau roti?” tawar Tiara saat teh sudah diseruput oleh Han.
“Hmm, boleh.”
“Wait, ya!”
“Okay!” Han memandangi Tiara yang berjalan menjauh darinya, lantas berpikir sendiri, apa yang sebenarnya kurang dari Tiara? Orangnya manis, pintar, baik dan yang terpenting adalah Ibu sangat menyukainya. Seharusnya itu sudah cukup untuk membuat Han luluh menerima cintanya, lalu segera datang melamar ke rumahnya. Namun, nyatanya tidak.