“Begitu, ceritanya, Ma….” Tiara mendongengkan kisah pangeran bernama Han yang gugup dan salah tingkah di depan tuan putri yang bernama Tiara. Dirinya sendiri.
“Syukurlah kalau begitu, Mama senang mendengarnya.” Aminah memaksakan diri untuk tersenyum lebar. Rasanya, ia ingin sekali percaya dengan kisah Tiara, tetapi dia lebih kenal dengan putranya.
Kisah itu, jelas saja fiksi bergenre romance. Semakin Aminah ingin percaya, semakin ia kasihan kepada Tiara. Di dalam hatinya, ia ingin berkata, ‘Han gugup bukan dikarenakan olehmu, Sayang. Bisa dipastikan itu bukan.’
“Tiara boleh bermalam di sini ‘kan, Ma?” Tiara ingin mencoba gladi kotor sebagai istri yang menunggu suaminya pulang kerja lembur. Uh, romantis sekali. Lagi pula tidak ada yang menunggunya pulang dia apartemen. Ia tinggal sendiri.
“Tentu boleh, sayang!” Kali ini, senyum lebar Aminah adalah tulus. Ia selalu senang jika kandidat calon menantu terfavoritnya memutuskan untuk berlama-lama berkunjung. Apalagi, sampai menginap. Di kepalanya sudah terbayang momentum bangun pagi yang menyenangkan dengan obrolan waras bersama gadis cantik sambil menyiapkan sarapan.
Belakangan Aminah merasa bahwa dirinya sudah jauh dari kata waras. Mungkin hal ini dikarenakan kurangnya durasi komunikasi dengan empat manusia berjenis laki-laki di sekitarnya. Suaminya mendapat tugas di luar negeri selama enam bulan ke depan. Jadi, waktu dan jarak menjadi halangan intensnya komunikasi. Ke tiga anak lelakinya jangan ditanya. Mereka sama sekali tidak bisa diharapkan. Sibuk dengan dunianya sendiri. Padahal, Aminah merasa bahwa dia adalah sosok Ibu yang cerdas, pengertian dan tentunya bijaksana. Dia juga merasa bahwa dialah Tempat paling masuk akal untuk dijadikan teman curhat, tetapi kenapa anak-anaknya tidak pernah bertahan lama untuk duduk mengobrol? Ah, anak zaman sekarang memang membingungkan. Mungkin, ia harus mengurangi micin di masakan yang akan disajikan ke piring mereka.
**
“Assalamualaikum, Ma.” Suara Han serak.
“Walaikumsalam, Han. Dari tadi Ibu telponi kenapa tidak dijawab? kamu sudah selesai? sudah makan?” tanya Aminah khawatir.
“Banyak sekali pertanyaannya, Ma?” Han menggaruk-garuk kepalanya sambil melihat ke sekeliling, “Astaga, sudah jam satu lewat, Ma?” Ia terperangah menatapi jam dinding kantor.
“Jadi?” Aminah ikut kebingungan.
“I love you, Ma. Jangan tunggu aku pulang, ya. Pekerjaanku belum selesai. Tadi ketiduran.” Han menutup teleponnya dengan tergesa-gesa, lalu mengaktifkan mesin komputernya. Handphonenya berdering lagi.
Begitu diangkat, Aminah melanjutkan bicaranya, “Kamu ini bagaimana? Tiara sudah menunggui kamu dari tadi. sampai-sampai tertidur di sofa kita,” repet Aminah. Kuping Han panas. Andai saja tadi tidak langsung diangkat.
“Sofa kita? Kok bisa?” Han menggaruk-garuk kepala tidak habis pikir. Ada saja atraksi-atraksi dari gadis itu.
“Jangan tanya kok bisa. Pulang saja dulu! Kasihan jika dia kecewa,” seru Aminah sedikit memelas.
“Tidak bisa, Ma. Lagian, aku tidak menyuruhnya untuk menungguku. Sudah ya, Ma. Pekerjaanku menumpuk. Assalamualaikum…,” tegas Han langsung memadamkan ponselnya.
“Ya, Allah!” Kini dikarenakan perut, Han kembali mengeluh. Sudah tidak ada lagi mie cup instant di ruangan tersebut. Itu artinya dia harus keluar dari kantor ini untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan.
**
Di restoran makanan jepang 24 jam.
“Malam, Pak!” Seorang satpam kantor menegur.
“Malam,” jawab Han sekenanya. Perut yang keroncong membuatnya ingin mengabaikan semua makhluk bumi.