Ada yang bilang, jika cinta itu sudah pasti bukan bintang. Karena, jika satu bintang jatuh ke bumi, tidak akan pernah bintang tersebut sudi naik untuk kembali jatuh. Tapi, jika satu cinta jatuh untuk satu hati, akan selalu ada kemungkinan, cinta itu akan kembali jatuh untuk hati yang lain.
“Haaaaaaa”
“Haaaaaa”
“Haaaaaaa!!”
“Haaaaaa!!”
Di tengah malam yang pekat dalam satu ruangan kerja. Dua sosok ini berteriak histeris, saling melempar pandang namun kembali bersahut-sahutan-aneh sekali.
“Kamu siapa?”
“Loh, kamu yang siapa?” Han mulai kesal di balik keterkejutan dan ketakutannya.
“Orang jahat, ya?” Saat itu, keringat Han mulai bercucuran. Keadaannya sock. Pikirannya berlari kencang entah sudah ke mana saja sebelum akhirnya kembali dan tidak bisa berpikir apa-apa lagi.
“Saya Han!” Dengan sekuat tenaga, Han mengumpulkan keberaniannya untuk menjawab, berharap tidak ada teriakan lagi.
“Aku akan mengadukan ke polisi, kalau ada penculik yang namanya Han!” Gadis kecil itu kembali berteriak.
“Hey! Siapa yang menculikmu? Oke-oke, nama kamu siapa?” tanya Han gugup. Wajah di depannya sebenarnya tidak asing di ingatannya, tetapi gadis kecil itu terus berteriak, enggan menjawab. “Mau mie ramen?” Han kembali membujuk. Kini dengan menawarkan makanannya di atas meja.
Gadis kecil itu akhirnya mulai berhenti berteriak. Ia menatap bungkusan ramen, lalu mengangguk. Han mengambil bungkusan yang berisi kotak ramen tersebut, lalu membuka kemasan sumpit dan memberikannya ke pada gadis kecil itu.
“Nama kamu, siapa?” Han mencoba menganalisa kejadian yang terjadi tepat di depan matanya. Apakah bisa masuk ke dalam logika atau hanya imajinasi saja.
“Dee lestari, Om. Panggil saja Didi” jawabnya santai, tetapi tidak begitu dengan Han. Darahnya serasa membeku, susah menarik napas. Beberapa kemungkinan sempat terlintas di pikirannya. Pelan-pelan ia mencerna untuk dijadikan kesimpulan.
Sudah tiga kali Han mencubit tangannya, berharap semua ini hanya mimpi. Namun, kenyataannya, semua ini adalah nyata dan fakta. “Kamu ingat, apa yang terakhir kali terjadi padamu?”
Didi sedang menikmati makanannya, ia terlihat kelaparan seperti tidak makan sejak pagi. “Sebentar, Om. Aku lagi makan.”
“Oh, baiklah!” kata Han berusaha mengingat-ingat kejadian ajaib sebelumnya. “Kamu kenal siapa saya?” tanya Han memelankan suara. Gadis itu menggeleng, masih asyik dengan ramennya.
“Huff!” Han menyenderkan tubuhnya di kursi, lalu mulai berpikir memandangi gadis kecil yang memakai baju dan sepatu dewasa itu.
“Umur kamu berapa, Didi?”
“9 Tahun,” ujar gadis kecil itu tersenyum polos sambil mengunyah.
Han mengamati dengan dalam, bentuk wajah, suara, dan cara bicara gadis kecil ini. Han sangat mengenal senyum itu. Senyuman hangat yang meluluh lantakkan hati Han saat melihat Dee untuk pertama kali.