“What?”
Mata Tiara melotot di depan telepon genggamnya saat membaca isi pesan singkat dari Han. Penolakan dan permintaan maaf atas undangan Tiara ke acara syukuran wisuda untuk gelar masternya, tanpa berpikir panjang, Tiara membalas pesan Han dengan panjang lebar. Sayang, Han membalas lagi dengan isi yang sama, tetapi kini lebih singkat.
Maaf.
Sejak dua hari lalu, Tiara sudah tidak bisa menghubungi Han. Ia cuti seminggu dengan alasan pribadi yang tidak seorang pun tahu persis, itu apa. Seolah tidak terima diabaikan, Tiara mendatangi rumah Han. Sejak handphone milik Han tidak aktif, ia memang tidak pernah lagi ada di rumah. Han menghilang bersamaan dengan sinyal handphonenya.
Belum lagi masuk untuk menyapa, Pagar rumah Han sudah tergembok dari luar. Tidak ada satupun orang di rumah. Tiara kembali kecewa.“Bagaimana caranya agar kamu peduli denganku, Mas?” keluh Tiara terduduk lemas di depan pagar rumah Han. Ia membuka handphone miliknya. Memanggil nomor Han dan nomor itu kini kembali tidak aktif. Ia terus menghubungi, hingga beberapa kali, tetapi tetap tidak tersambung. Tidak aktif. Mukanya cemberut menatapi langit.
“Loh, kok duduk di sini, Mbak. Tuan rumahnya sudah dihubungi? Sepertinya mereka keluar.” Seorang Ibu menghampirinya setelah berselang dua puluh menit ia duduk di sana.
“Iya, Buk,” jawab Tiara tersenyum kecil.
“Ini mendung. Nanti kehujanan.”
“Iya, Buk,” jawab Tiara lagi. Masih belum bangkit. Ibu itu berlalu pergi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tepat seperti yang dikatakan Ibu tadi, langit memang sudah sangat gelap. Gelegar petir pun sudah mulai menggertak, tetapi Tiara belum juga tersadar hingga air hujan mengguyurnya, Barulah, ia bangkit dan berjalan pelan menelusuri jalan pulang setapak demi setapak dengan membiarkan air hujan menemani langkahnya. Basah di guyur hujan.
**
Tiara sudah tiba di gedung apartemen. “Huff” Dia menarik napasnya dalam, membongkar tas miliknya mencari sesuatu, tetapi belum juga ditemukan. Seorang bapak paruh baya baru saja keluar dari apartemennya. Ia melihat Tiara sekilas, lalu pergi begitu saja tanpa bicara. Mungkin keheranan, melihat Tiara bisa basah kuyup seperti itu.
Selang beberapa menit, barang yang sedari tadi dicari sudah ditemukan dan itu adalah sebuah kartu kunci apartemen miliknya. Ia masuk dengan langkah patah, pintu ia tutup asal, tas sandangnya ia lempar ke atas sofa, lalu berjalan lurus menuju kamar mandi. Tiara kedinginan, handuk besar itu ia selimuti di seluruh tubuhnya. Matanya menatap kaca kamar mandi. Lama ia mengamati bentuk wajahnya-manis. Lalu, mengapa Han tidak bisa melihat itu semua?
Wajahnya terlihat lelah dan lesu. Dihidupkannya air keran, lalu membasuh muka sekenanya dan kembali menatap kaca di depannya. Lama ia mengamati wajahya sendiri.
Kriiing... kriiing.... kriiing....
Telepon rumahnya berbunyi.
Tiara berjalan lambat menuju telepon tersebut. Semua langkah yang ia buat menyisakan jejak air‒Basah.
Tiara melihat layar ponselnya, terlihat bahwa itu adalah panggilan dari rekan kerjanya, Yona. “Ya, Hallo!”
“Gila yaa, Tiara, dihubungi dari tadi tidak bisa. Handphone kenapa tidak aktif?”