My Little Pirate

Ravistara
Chapter #2

Si Nona Sneakers

Perdebatan semacam ini telah dimulai semenjak dia melakukan kesalahan dengan mengenalkan seorang wanita pada teman-temannya. Bahkan, hingga saat ini Aldebaran masih bingung menerka siapa wanita ini sebenarnya. Untuk sekarang, Aldebaran lebih senang memanggilnya si nona sneakers. Aldebaran tidak punya julukan yang lebih bagus dari itu dan ia masih ingat sejarahnya.

"Apa kabar, Mas Aldebaran? Perkenalkan ... saya Nana, trainee baru di sini."

Seorang wanita menyapa Aldebaran dengan ramah dari balik meja frontdesk. Di sampingnya, frontliner bernama Mbak Zia tersenyum dikulum.

Aldebaran langsung paham situasinya. Mbak Zia pasti sudah memberikan instruksi singkat seputar etika bekerja di kantor mereka. Dirinya termasuk salah satu poin yang harus diperhatikan tanpa kecuali. Sebenarnya, dia tidak keberatan dipanggil tanpa sebutan 'Mas' sekalipun. Tapi, itu masih lebih baik. Pernah seorang trainee keceplosan menyebutnya 'Bapak'. Mbak Zia hanya gemetaran panas dingin menahan tawa. Pasalnya, saat itu dia mampir tanpa seragam abu-abunya yang biasa dan penampilannya yang agak dewasa memang mampu membuat pangling orang yang baru kenal.

Aldebaran hanya melirik sekilas tanpa memedulikan trainee baru itu lebih lanjut.

"Pak Reinata ada, Mbak Zia?"

"Ada, Mas Aldebaran." Mbak Zia lekas mengangguk.

Tanpa basa-basi, Aldebaran menuju ruangan direksi. Sebelumnya, dia mengetuk pintu berpelitur cokelat gelap di hadapannya satu kali. Pintu itu tidak terkunci seperti biasa, jadi dia langsung masuk saja ke dalam. Terdengar bunyi berdebam halus saat Aldebaran menutup pintu di belakangnya.

"Alde." Om Reinata tersenyum mengetahui kedatangannya. Senyum hangat yang selalu terpancar untuk keponakan kesayangannya semata wayang. Salah satu dari sedikit hal yang mampu membuat Aldebaran bangkit dari sejarah keterpurukan masa lalu.

Aldebaran sepakat dengan kata orang-orang bahwa Om Reinata punya karisma luar biasa lagi tampan. Wajah bergurat lelaki dewasanya tak banyak berubah dimakan usia menjelang akhir tiga puluhan. Mereka berdua bahkan bisa disandingkan seperti dua bersaudara, meskipun Aldebaran lebih mirip dengan almarhumah Mama, istri dari kakak Om Reinata.

"Ganggu?" Aldebaran meminta izin.

"Not at all." Om Reinata melirik dengan sudut atas matanya yang khas. Taruhan. Lirikan ini bakalan bikin klepek-klepek setiap wanita yang melihat. Aldebaran sering bertanya apakah lelaki ini pernah menyadari betapa luar biasa pesona yang dimilikinya. Ups! Aldebaran merasa geli sendiri.

"Om sudah siapkan untuk bulan ini. Cukup?" Om Reinata mengeluarkan sebuah amplop tebal dari dalam laci meja. Aldebaran duduk di kursi dan menggeletakkan tas selempang yang disandangnya, lalu mengintip sejenak isi amplop sebelum mengangguk.

"Cukup. Trims, ya, Om," ucap Aldebaran penuh terima kasih memasukkan amplop itu ke dalam tasnya. "Akan segera Aldebaran kembalikan begitu selesai balik modal."

"Tak perlu buru-buru. Lagi pula, itu masih dalam tanggungan bulanan yang Om siapkan buat kamu, kok," sergah Om Reinata.

"Yup yup. Tapi, Om sudah hafal prinsip Aldebaran, 'kan? Business and family are two different things." 

Om Reinata tertawa kecil mendengarnya. "Bagaimana kalau kita anggap saja ini sebagai barter? Om sedang butuh penerawangan istimewa kamu," tatap pria itu penuh arti. Aldebaran lantas menunjukkan raut wajah tertarik.

"Trainee di luar?" tebaknya.

"You're the best, my son ...."

***

"Kamu akan baik-baik saja. Sejauh ini, kamu adalah yang terbaik, Nana!" bisik Mbak Zia memberinya semangat plus pelukan hangat setelah menerima telepon dari ruang direksi tadi. Pak Reinata tiba-tiba saja memintanya untuk menyampaikan pada Nana untuk menghadap beliau. Oke. Nana menghargai suntikan semangatnya. Tapi, untuk apa pelukan? Apa mungkin Mbak Zia semacam orang yang senang menghiperbolakan segala sesuatu?

Lihat selengkapnya