Damn. Seketika Nana merasakan sakit di hidungnya saat ditabrak sesuatu. Tas yang dibawanya jatuh berantakan. Terdengar suara kelontang logam saat isi tas itu bergelindingan keluar.
"Rantang? Lu anak mama?"
Nana terkejut. Dia mengenali suara itu! Benar saja, entah dari mana Aldebaran muncul menabraknya. Bukannya minta maaf, Aldebaran malah megamati dirinya dengan sorot mata penuh penilaian.
"Hei, bocil! Lo sengaja menabrak hidung gua buat balas dendam, yah?" Nana mengomel tanpa memberi kesempatan pada Aldebaran untuk membalas. Gadis itu langsung berjongkok membereskan rantangnya dengan kesal. Dia melirik sekilas apakah Aldebaran pada akhirnya akan membantu atau meminta maaf. Akan tetapi, sepertinya harapannya tidak akan terkabul. Bocah ini sama sekali tidak ada manis-manisnya.
"Sini, gua bawain." Aldebaran malah mengambil tas kerja Nana yang tergeletak begitu saja. Hei ... Nana panik. Buru-buru dia membereskan rantang dan berlari mengejar Aldebaran. Dia barusan ditabrak lalu dijambret? Keterlaluan ....
"Mau dibawa ke mana tas gua!" Nana berusaha merebut, tetapi Aldebaran dengan tangkas menyampirkannya di bahu.
"Kalau mau tas lo balik, ikut saja dan gak usah banyak tanya."
Sabar, Nana. Sabar. Dia ponakan bos. Nana berusaha menghibur diri sendiri meski tidak terima setengah hati. Aldebaran berjalan dengan cepat tanpa memberinya kesempatan bicara. Untung kakinya cukup panjang untuk menjajari langkah cowok itu.
"Naik!"
Nana hilang akal ketika Aldebaran memaksanya untuk duduk di boncengan motor cowok itu. Dia merasa sedang berada dalam situasi penculikan.
"Gua ga punya helm." Nana mencoba berkelit, tetapi Aldebaran tanggap. Cowok itu membuka jok motor dan mengeluarkan sebuah helm ekstra dari dalam sana. Sebagai gantinya, Aldebaran mengisinya dengan tas kerja Nana. Kontan Nana melongo karena ia membutuhkan benda itu untuk pulang ke rumah. Namun, tampaknya kini mustahil.
Ke mana Aldebaran akan membawanya? Pikiran Nana agak berkabut di balik kaca gelap yang tebal dan deru motor yang kencang. Aldebaran tidak berniat membuangku ke laut, 'kan? Nana membatin konyol.
Riding on a bike. Oke, Nana sering menonton adegan drama dan film romantis semacam ini. Namun setelah mengalaminya sendiri, ini sama sekali tidak ada romantis-romantisnya. This fucking freak! Bocah tengil asing dan motor matic yang dipaksa melaju kencang melampaui performa, serta rok lipit yang dipeganginya susah payah agar tidak berkibar ke mana-mana.
Nana nyaris saja menangis. Padahal, dia sudah berkhayal bahwa hari ini adalah hari terbaiknya setelah pertemuan dengan Pak Reinata. Namun, sekarang dia merasa diperlakukan seperti seorang penyihir yang sedang dibawa ke tiang gantungan saja. Besok pasti akan dia adukan perbuatan Aldebaran yang ini pada bosnya! Tidak peduli siapa Aldebaran dan apa pun resiko yang akan dia terima.
Tiba-tiba, motor direm paksa sehingga Nana menubruk dengan keras Aldebaran di depan. Helm mereka pun beradu nyaring memekakkan. Aldebaran segera menoleh ke belakang dengan gusar.
"Lo melamun, ya?" Aldebaran membuka kaca helmnya dengan kesal, tetapi cewek di belakangnya diam saja. Tanpa menunggu, Aldebaran langsung membuka kaca helm cewek itu. Alangkah terkejutnya dirinya ketika mengetahui wajah Nana yang pias dan sudah basah oleh air mata.
LO BERCANDA? Aldebaran menggerutu dalam hati. Baru digertak sedikit, cewek ini sudah menangis seperti anak kecil. Mampus, deh, dia tidak punya pengalaman menghadapi cewek menangis sebelumnya.
Nana bahkan tidak beranjak dari jok belakang walaupun Aldebaran sudah turun dari motor. Aldebaran memintanya untuk turun dan melepaskan helm, tetapi cewek itu bergeming.
"Hei, Deb! Kirain gak jadi dateng .... Tumben lo ajak cewek segala?!" seru seseorang memecah ketegangan tersebut. Deni tampak surprised dan tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Lalu, ekspresinya menjadi aneh ketika menyaksikan dengan jelas apa yang sedang terjadi.
"Crap. Lo bikin cewek nangis, Deb?!" Deni langsung menuduhnya dengan tatapan menyalahkan.
"Woi, ngapain kalian berdua?" panggil Riko dari arena. Tak jauh dari sana, Senna asyik bermain skateboard.
"ALDEBARAN BIKIN CEWEK NANGIS, SOB."
"WHAAAT?" teriak Riko. Senna pun otomatis menghentikan permainannya.
Yuck! Komplit sudah misinterpretasinya. Aldebaran sungguh kesal kenapa cewek ini musti pakai acara berakting segala? Dangerous woman macam Nana mana pantas pasang tampang innocent begitu. Langsung dia tutup kembali kaca helm menutup Nana.
"Sadis, lu, Deb. Dari dulu bisanya cuma bikin cewek nangis."
"Mana pernah gua begitu?"
"Eh, lunya aja yang kagak nyadar. Emang lu pikir gimana nasib cewek-cewek yang dulu PDKT sama lo?"
"Plis, deh, gak pernah ada yang PDKT sama gua."
"Hello? Si Nami di kelas kita dan Ara dari kelas sebelah pernah tuh."
"Bukannya mereka semua mantannya Senna?!"
"Iya. Karena gak tahan dicueki sama lo, Senna yang embat mereka berdua."
Terdengar sebuah tawa hambar dari cowok yang Nana duga bernama Senna. Diam-diam, dia mendengarkan obrolan ababil khas anak SMA mereka. Argh. Kenapa juga dia sempat pakai acara ketakutan segala. Aldebaran ini masih bocil, bisa-bisanya paling gertak sambal doang. Tolonglah, Nana. Kalau mau berhasil mendekati Omnya, seenggak-enggaknya dia harus pintar menghadapi si bocil ini dulu.
"Don't worry. Aldebaran gak bakal berani macam-macam kok. Lo mau turun sekarang dari motor?"
Dengan ekor matanya, Nana melirik pada Senna yang berusaha membujuknya. Di antara ketiga teman Aldebaran, cowok ini memang terlihat menonjol di antara yang lain dengan tubuh jangkung dan tampangnya yang cukup matur. Tidak seganteng Aldebaran memang, tetapi karismanya kuat. Pantas saja dia womanizer. Alhasil, Nana pun mengangguk dan menuruti kata-katanya. Tanpa merasa sungkan, Senna lalu melepaskan helm dari kepala Nana yang mengundang decak kagum Deni dan Riko akan kepiawaiannya. Aldebaran hanya tersenyum skeptis. Sebentar lagi mereka juga akan tahu siapa cewek ini.
Wow. Komentar Senna, Deni dan Riko serempak setelah helm terlepas dari kepala Nana. Namun, Nana sama sekali tidak berminat untuk tebar pesona karena cowok yang lebih muda memang tidak pernah menjadi target sasarannya. Dia mengelap air matanya dengan ringkas lalu tersenyum penuh percaya diri.
"Trims, dek!"