Bel istirahat berbunyi. Aku berdiri lebih dahulu, tapi belum melangkah, sengaja menunggu teman yang duduk di sebelahku memasukkan buku pelajaran yang baru berakhir ke dalam tas.
“Yuk, ke kantin. Aku laper.” Aku menariknya berdiri begitu melihat dia selesai membereskan bukunya.
“Aw!” Dia meringis.
Aku refleks melepaskan tanganku. Beberapa detik aku menatapnya bingung. Dia menyunggingkan senyum kikuk, membuat ekspresi wajahku seketika mengeras. Seperti tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya, dia menarik diri. Aku tidak akan membiarkannya lepas semudah itu. Dengan rahang terkatup, aku kembali duduk dan meraih tangannya.
“Nggak apa-apa, Ru ....” Dia terdengar memohon. “Kamu ke kantin aja.”
Aku tidak memedulikan permintaannya. Perlahan aku menggulung lengan kemejanya ke atas.
Lebam biru, tampak masih sangat baru, kembali menghiasi kulitnya. Dia menggigit bibir, membuang muka dariku. Kulit yang seharusnya berwarna putih merona itu, kini tampak mengerikan.
“Kebentur lagi?” tanyaku, sinis. “Apa kali ini? Aspal?”
Gantian dia yang menarik tangan dariku, lalu menutupi lebam sialan itu. “Aku nggak apa-apa.”
“Kapan, sih, kamu pernah apa-apa?” Aku menyandarkan punggung di sandaran bangku. Minatku ke kantin lenyap. Aku lebih tertarik memelototinya. “Udah sekarat, napas tinggal setengah pun kamu tetap bakal bilang nggak apa-apa.”
Dia menunduk, menghindari tatapanku.
Aku benar-benar benci melihatnya seperti ini. Dia tahu betapa tidak sabarannya aku. Kejadian yang dialaminya belakangan ini benar-benar sanggup membuatku meledak.
“Aku mau ketemu sama dia.”
“Nggak, Ru.” Dia kembali menatapku. Mata beningnya, yang dinaungi bulu mata pendek tapi lentik, tampak berkaca-kaca.
“Ini kelewatan, Ta.”
Dia menggeleng. “Kamu nggak akan ngerti.”
“Gimana aku bisa ngerti kalau kamu milih buat nutup diri?” balasku. “Jelasin. Buat aku ngerti.”
Gelengan lagi.
Astaga ... kalau saja gadis ini tidak membuatku jatuh cinta setengah mati, aku pasti sudah mencekiknya.
Dia memandang ke luar jendela kelas, kembali membuang muka dariku. Kedua tangannya mendekap diri sendiri. Dia terlihat semakin ... menyedihkan. Tubuhnya makin kurus. Kulitnya tidak lagi merona, berganti pucat. Rambut halusnya yang panjangnya melewati bahu, sekarang lebih sering dikucir asal-asalan. Seragam sekolahnya kusut.
Yang lebih menyakitkan, dia sekarang selalu berjengit tiap kali aku menyentuhnya. Seolah sentuhan lembutku menyakitinya.
Siapa gadis ini?
Aku mulai sering bertanya sendiri.
Ke mana perginya Chesta-ku?
***
“Aru?”
Aku merasakan colekan pelan di bahu. Dengan enggan, setengah mengantuk, aku mengangkat kepala dari meja. Suasana kelas masih ramai karena pergantian jam, menunggu kedatangan guru pelajaran selanjutnya.