Aku memanjat pagar belakang untuk menaiki atap toilet murid, yang berada di sudut area sekolah, jauh dari pusat aktivitas lain. Aku duduk di bagian atap yang menghadap ke jalanan, menyembunyikanku dari pandangan sekolah.
Aku bolos. Sudah lama sekali aku tidak melakukan kebiasaan buruk ini. Aku berhenti total sejak sekelas dengan Chesta. Dia tidak pernah melarangku saat berniat membolos. Hanya mengomel sedikit, lalu membiarkanku mengambil keputusan sendiri. Daripada duduk sendirian sambil memandangi langit, tentu saja aku selalu lebih memilih duduk di sebelahnya.
Kecuali hari ini.
Menghela napas pelan, aku merogoh saku celana kotak-kotakku dan mengeluarkan sebuah lollipop. Stroberi susu, favorit Chesta. Aku memandangi permen itu beberapa saat, lalu membuka bungkusnya.
Dua tahun lalu, bukan lollipop yang ada di mulutku saat seperti ini.
Aku berbaring, membiarkan lenganku menjadi bantal, dan memejamkan mata. Menikmati rasa manis lollipop di mulutku sembari mengingat awal pertemuan kami.
***
Aku baru mengeluarkan sebatang rokok, bersiap menyulutnya, saat sebuah suara feminin menegurku. Aku menoleh dan melihat seorang gadis dengan rambut dikucir ekor kuda, tengah menatapku. Mata bulat gadis itu sedikit ketakutan, tapi dia bersikeras melawan pandanganku.
Menarik.
Selama beberapa bulan di sekolah ini, tidak seorang murid pun berani bertatapan langsung denganku.
Aku memutar rokok di tangan. “Lo bilang apa barusan?”
“Jangan merokok di sekolah,” ulang gadis itu.
Kami sedang berada di lorong kecil, yang hanya bisa dilewati satu orang, antara toilet siswa dan toilet siswi. Gadis ini benar-benar bermental baja karena berani menegurku di tempat seperti ini. Gadis lain pasti sudah lari terbirit-birit.
“Sejak kapan lo jadi kepala sekolah?” Aku menaikkan sebelah alisku kepadanya. “Berani banget ngelarang gue.”
Gadis itu menggigiti bagian bawah bibir mungilnya. “Buat lo sendiri.”
“Oh ya?” Punggungku meninggalkan dinding. Dengan sebelah tangan masuk ke saku, aku mendekati gadis itu sambil tetap memutar rokok di jari.
Gadis itu refleks mundur. Aku menyunggingkan senyum mengancam kepadanya. Gantian punggungnya yang menempel di dinding. Aku mengurungnya dengan kedua lengan. Gadis itu satu kepala lebih pendek, membuatku harus sedikit membungkuk agar mata kami sejajar.
“Sayang banget gue nggak bisa mukul perempuan,” gumamku. “Tapi, kalau lo berani ganggu gue, tangan gue bisa aja khilaf.”
Yeah, tentu saja itu hanya ancaman. Aku belum seberengsek itu sampai bisa mengerjai gadis manis ini.
Mata bundar itu tampak makin ketakutan.
“Jadi,” aku menunduk untuk melihat nama di nametag-nya, “Franchesta Shailendra.” Dahiku berkerut. “Nama lo lucu banget.”
“Abhimana Andaru nggak lucu. Tapi, panggilan ‘Aru’?”
Kalau saja tidak sedang kesal karena niat suciku menyulut rokok terganggu, aku mungkin akan merasa takjub.
Tetapi, yang kurasakan sekarang hanya dongkol. “Tutup mulut sok pinter lo itu dan gue bakal jaga tangan gue dari muka lo. Oke?”
Gadis itu menelan ludah. Namun, tekadnya sungguh luar biasa. Dia tetap mendongak, tidak menciut sedikit pun. Aku nyaris kagum pada nyali gadis ini.
Entah berani, atau bodoh.