Gadis itu sesaat tampak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Aku berjalan mendekat, memberi tatapan tajam paling dingin yang kubisa. Bukannya ketakutan seperti kemarin-kemarin, kali ini dia tampak tertarik. Mata bundarnya berbinar, tanpa jejak takut sedikit pun.
“Ngelihatin apa lo?” bentakku.
“Kucingnya kenapa?” Dia bertanya, tidak menghiraukan bentakanku.
Sebelum aku sempat menjawab, dia melangkah maju dan menyingkap jaketku. Aku mengerjap sementara jemari lentiknya mengusap kepala si kucing.
“Kayaknya dia kesakitan.”
“Kakinya luka,” jawabku.
Aku kembali berhadapan dengan mata karamelnya.
“Rumah gue dekat sini. Kita bisa ngobatin dia di sana.”
Kita? Apa gadis ini sedang berhalusinasi? Aku yang menemukan kucing ini, jadi aku yang akan merawatnya.
“Nggak. Gue bisa bawa dia pulang.” Aku bersiap pergi dari sana.
“Nyokap gue dokter hewan,” ucapnya, cepat.
Mataku menyipit, menatapnya curiga.
“Nggak usah kebanyakan mikir, deh.” Dia menarik satu sisi jaketku, tempat si anak kucing berada, dan memaksaku mengikuti langkahnya.
Payung pink-nya tiba-tiba saja sudah melindungiku dari air hujan. Jaketku memang sudah basah, tetapi bagian dalamnya tetap kering. Aku tidak memerlukan payungnya. Saat aku bergeser, dia ikut bergeser. Bahu kami bertubrukan, membuatku merasa sangat tidak nyaman.
Aku mendelik sebal kepadanya. “Lo bisa, nggak, sih, jalan nggak usah nempel-nempel?”
Dia menatapku dengan dahi berkerut. “Siapa yang nempel-nempel?”
“Ini nempel.” Aku menunjuk bahunya yang hanya berjarak beberapa senti dari bahuku.
Dia mengerucutkan bibir seraya bergeser agak menjauh. Payungnya masih menaungi kami. Tiba-tiba aku merasa seperti sedang berada di dalam drama picisan. Hujan, sepayung berdua, sebuah adegan murahan yang sangat menggelikan.
Aku tidak tahu berapa jauh kami berjalan. Dia menghentikan langkah saat tiba di depan pagar setinggi dadaku, berwarna kuning gading. Dia membuka kunci pagar itu dan mendorongnya hingga terbuka.
Sesaat, aku hanya mematung. Aku belum pernah bertamu ke rumah teman. Yah, meskipun gadis ini tidak sepenuhnya bisa disebut temanku. Aku baru menyadari kehadirannya sekitar tiga minggu lalu. Sejak itu, beberapa kali kami berpapasan saat di kantin, di depan toilet, atau saat pulang. Tetapi, tidak pernah saling sapa.
Apa itu bisa dianggap “berteman”? Aku tidak tahu.
“Nyokap gue udah pulang. Ayo,” ajaknya.
Aku mengikutinya. Rumahnya ... besar. Bertingkat dua dengan gaya Victoria kuno. Dinding rumah didominasi warna merah bata. Aku menangkap aroma rumput basah dan wangi bunga, sepertinya berasal dari taman kecil di sisi halaman. Aku merasa familier dengan aroma itu, tapi entah pernah tercium di mana.
Bodoh. Aku mengomeli diri sendiri. Aroma bunga bisa tercium di mana saja. Tidak ada bunga yang terlalu istimewa di sana. Hanya barisan pot mawar merah, azalea ungu, dan anggrek yang menempel di pohon mangga.
“Mana kucingnya?”
Aku menoleh, melihat seorang wanita menghampiriku. Chesta berhasil menarikku supaya duduk di ruang tamunya. Bagian dalam rumah tidak sebesar yang terlihat dari luar. Minimalis dan fungsional. Cukup untuk dihuni sebuah keluarga kecil yang bahagia.
Aku mengeluarkan anak kucing dari saku jaket, membiarkan ibu Chesta melihat lukanya. Chesta muncul dengan membawa kotak P3K. Tidak ada yang bersuara selama luka si kucing diobati.
Saat Chesta duduk di sebelahku, aku mengernyit. Kali ini bukan karena dia duduk menempel, melainkan karena aroma tubuhnya tercium.
Sekarang aku tahu di mana aroma bunga-bunga tadi pernah tercium. Hal lain yang membuat kernyitanku makin dalam.
Sejak kapan aku mengenali aroma tubuh gadis ini?
“Nggak terlalu parah, kok. Dua-tiga hari lagi dia udah bisa jalan normal.” Ibu Chesta mengusap kepala kucing itu, kemudian tersenyum kecil kepadaku sebelum kembali masuk ke dalam rumah.
Chesta meletakkan sebuah mangkuk berisi makanan kucing dan mangkuk lain berisi air minum. Silly Cat langsung melahap makanannya.
“Lo mau bawa dia pulang?” tanya Chesta.
Aku hanya mengangguk sekali.
“Pernah punya peliharaan?”
Aku melempar pandang datar kepadanya. “Gue punya tiga kucing di rumah.”
Dia tampak takjub. “Serius? Semua kucing kampung?”