Sepulang sekolah, seperti biasa aku sudah dijemput oleh sopir keluargaku yang setia, Pak Udin. Dia sudah bekerja pada keluargaku selama belasan tahun, sejak aku kecil. Penampilannya memang cukup menyeramkan, dengan kumis tebal dan kulit hitam serta tubuh tinggi besar yang mengintimidasi, tapi sebenarnya dia adalah orang yang sangat baik hati.
Begitu melihatku di gerbang sekolah, ia membuka pintu belakang mobil sedan hitamku. Setelah aku masuk, ia menutupnya dan bergegas menuju jok kemudi. Mobil pun melaju dengan mulus di tengah keramaian kota.
“Hari ini ada acara apa, Non?” tanya Pak Udin, membuka percakapan di dalam mobil.
“Nggak ada, Pak, langsung pulang aja,” sahutku. Lupakan soal pertemuan di toko buku dekat stasiun. Aku sudah bertekad kalau untuk saat ini tidak akan berhubungan dengan lawan jenis.
Diam sejenak.
Mobil berhenti di lampu merah dan Pak Udin nampak sedang mengirim SMS lewat ponsel jadulnya yang masih menggunakan ringtone monofonik. Ketika lampu berubah menjadi hijau, Pak Udin meletakkan ponselnya dan kembali mengemudi.
“Saya dengar hari ini ada pameran, lho, Non, di balai kota,” kata Pak Udin memberitahu. Mendengar kata “pameran”, aku jadi tertarik. Aku memang suka festival.
“Pameran apa, Pak?” tanyaku.
“Pameran kerajinan tradisional gitu, deh, Non. Paimin, si tukang kebun, ngasih tahu saya. Katanya temannya yang pengrajin dari Jepara ikut pameran itu,” jawab Pak Udin. Aku berpikir sejenak. Hari ini memang tidak ada jadwal kursus dan les, sih...
“Sampai kapan, Pak, pamerannya?” tanyaku lebih lanjut.
“Katanya sih hari ini terakhir.”
“Lho, kok Bapak baru ngasih tahu saya sekarang, sih?” aku jadi sedikit menyesal.
“Wah, maaf, Non, saya juga baru tahu.”