“Jadi siapa namamu tadi?” aku bertanya pada sang “pangeran” saat kami sudah keluar dari balai kota dan sedang berjalan menuju tempat parkir.
“Leonardo Grenneth,” jawabnya sambil tersenyum, sungguh sangat tampan. Aduh, kenapa pipiku jadi memerah begini?
“O... oh... begitu,” aku menimpali ala kadarnya dan mengalihkan pandangan ke mobil-mobil yang berderet rapi di tempat parkir. Dia terlalu tampan!
“Nama kamu siapa?” dia balik bertanya.
“Raina,” sahutku tanpa melihat ke arahnya.
“Raina? Nama yang bagus...” pujinya, lantas berkata lagi, “Kamu boleh panggil aku ‘Leon’, tapi di depan orang, tolong jangan bilang kalau aku pangeran, ya. Aku nggak mau semua orang tahu dan terjadi kehebohan.”
“Jangan khawatir, aku juga masih nggak percaya kalau kamu pangeran,” kataku sarkastik. Anak laki-laki yang ingin dipanggil “Leon” itu tertawa, dan anehnya, tawanya terdengar jauh lebih indah di telingaku dibandingkan dengan tawa orang-orang yang lain. Ada apa denganku?
“Kamu boleh nggak percaya sekarang, yang penting kamu mau nolongin aku.”
“Iya... iya...” kataku pasrah.
Kami mencapai mobilku dan aku melihat Pak Udin sedang tidur di dalam. Aku mengetuk kaca mobil, membuat Pak Udin kaget dan terbangun. Ia membuka kaca mobil yang tepat berada di depanku.