Keesokan harinya, sepulang sekolah, aku dan Pak Udin menjemput Leon di tempat kos milik Pak Rahman, teman Pak Udin. Seperti kata Pak Udin, tempat kos Pak Rahman sangat mewah, mirip seperti hotel, bahkan dilengkapi kolam renang, namun harga sewanya jangan tanya. Tidak mungkin sesuai dengan bujet Leon!
Kamar Leon sendiri, yang semalam kulihat, sangat besar dan mewah. Dinding kamar itu dicat putih dan lantainya dilapisi karpet tebal berwarna krem. Spring bed berukuran besar ada di tengah ruangan, dikelilingi furnitur berupa lemari enam pintu, meja belajar, rak serbaguna, dan seperangkat sofa yang menghadap ke sebuah TV LED berukuran sedang. Sudah jelas kamar itu dilengkapi AC. Sebuah kamar mandi lengkap dengan bathtub juga ada di dalam kamar tersebut. Busyet, kamarku saja tidak semewah ini!
Leon sangat senang waktu Pak Rahman mengizinkannya menginap semalam di situ. Dan siang ini, aku lihat mood-nya tetap sama seperti semalam ketika menyambutku.
“Halo, Na!” sapanya riang saat aku memasuki kamarnya yang mewah. Ia sedang duduk di atas sofa, menonton acara berita di TV. Pakaiannya masih sama seperti semalam. Well, dia memang tidak bawa apa-apa selain dompet dan baju yang melekat di badan. Anehnya, kenapa dompetnya tidak ikut dicopet?
“Halo, Yang Mulia, sudah siap nyari kos-kosan lagi?” tanyaku langsung to the point seraya duduk di sebelahnya.
“Ngapain cari kos-kosan lagi?” ia balik bertanya dengan wajah seolah itu adalah pertanyaan yang bodoh.
Aku jadi heran, “Bukannya...”
“Aku betah di sini, Na...” katanya ringan.
“Hoi, kamu bisa tinggal di sini semalam karena kebaikan hati Pak Rahman dan itu nggak berlaku selamanya. Jadi sebelum diusir, ayo kita cari kos-kosan sekarang!” aku berusaha menyadarkannya, just in case dia amnesia mendadak. Leon justru tertawa.
“Aku sudah bicara dengan Pak Rahman semalam. Aku bilang padanya siapa aku sebenarnya dan setelah tahu, dia mau bantu aku. Dia ngizinin aku tinggal di sini karena aku bilang pembayarannya nanti bakal dilunasi oleh ayahku. Tapi tentunya aku kasih DP dulu sama dia. Yah, yang sejuta itu,” jelas Leon. Aku menatapnya tidak percaya.
“Lho, kok sekarang kamu cerita sama Pak Rahman? Lagian, kok Pak Rahman bisa percaya gitu aja kalau kamu pangeran? Aku aja belum percaya dan masih nganggap kamu itu anak ekspatriat yang tersesat!” selorohku. Leon tertawa lagi.
“Itu kan kamu, bukan dia! Aku tunjukin dia emblem kerajaanku dan dia langsung percaya,” Leon mengeluarkan sesuatu semacam bros yang cukup besar dari dompetnya. Aku mengambilnya untuk melihat lebih dekat.
Sepertinya sebuah lambang negara, berupa burung elang (atau garuda?) berwarna cokelat yang duduk di atas sebuah perisai. Perisai itu dibagi empat oleh sebuah garis berwarna biru dan di masing-masing kotak terdapat simbol-simbol aneh yang juga berwarna biru. Di bawah perisai itu ada tulisan dalam bahasa yang tidak aku mengerti.
Aku memandang Leon, yang balas memandangku dengan ekspresi semacam kepuasan. Apa dia benar-benar seorang pangeran? Tidak mungkin!