Leon tampak lemas saat berjalan di sebelahku, masih di pusat grosir, sementara lengan Pak Udin yang berjalan di sampingnya tampak penuh dengan tas belanjaan. Sejauh ini kami sudah berhasil membeli dua celana panjang (dari toko jeans tadi), sebuah t-shirt, dan sebuah jaket. Kini tinggal satu kuota baju lagi.
“Na, udahan, yuk,” mohon Leon dengan memelas. “Kita udah di sini sejak empat jam yang lalu, tahu.”
“Tinggal satu lagi! Ayo, semangat! Kamu mau atasan model apa?” tanyaku dengan senyum yang sengaja kubuat semanis-manisnya. Tidak berhasil. Leon tetap manyun.
“Kayaknya udah cukup, deh, Na. Aku udah nggak kuat lagi. Mana asap rokok dimana-mana lagi! Ayo balik...”
“Eh, ada toko baju lagi! Ke sana, yuk!” aku memotong sambil mengalihkan topik.
“Na...” keluh Leon, tapi tetap mengikutiku. Kami tiba di sebuah toko pakaian sederhana yang dijaga oleh seorang ibu paruh baya berjilbab.
“Cari apa, Neng?” tanyanya ramah.
“Saya cari atasan buat teman saya,” aku menunjuk Leon. “Yang ukuran M, ya, Bu.”
“Mau model apa?”
“Yang kayak gitu aja,” aku menunjuk kaus berkerah dari bahan yang sepertinya cukup tebal yang digantung di dinding. Warnanya kuning cerah bercampur hijau dan lengannya panjang.
“Sebentar, ya,” ibu itu mencari di tumpukan pakaian dalam etalase.
Leon di sebelahku mendengus, “Na, aku lapar. Kita belum makan, lho, sejak tadi.”
“Iya... iya... ‘bentar!” aku mendelik ke arahnya.
“Yang ini?” ibu itu mengeluarkan sebuah pakaian terbungkus plastik yang sepertinya sama persis dengan yang digantung di dinding.
“Iya, Bu, benar! Boleh dibuka?” ketika si penjual mengangguk, aku membuka bungkusan plastik itu dengan hati-hati dan mengeluarkan pakaian di dalamnya, lalu membentangkannya. “Kamu suka?”
“Suka, deh, suka. Ayo beli lalu kita makan,” jawab Leon acuh. Aku cemberut dan mengembalikan baju itu.
“Sepertinya yang ini nggak cocok buat dia, Bu. Saya ingin lihat yang lain...”
Leon menatapku tak percaya, “Na...!”