My Lost Prince

Rosa L.
Chapter #10

Keanehan di Restoran

“Jangan manyun gitu, dong,” Leon berkata padaku saat kami berdua sudah berjalan di sebuah mall besar di pusat kota. Interior mall tersebut cukup mewah dan bernuansa keemasan. Toko-toko dengan display menarik berjejer di kanan-kiri kami.

“Masalahnya, Leon, kamu maksa orang untuk ngelakuin apa yang kamu mau,” sergahku kesal. Leon tertawa ringan. Aku berusaha menenangkan perutku yang bergejolak melihat tawanya yang entah kenapa terlihat indah itu di mataku. Kenapa perasaan aneh ini masih ada?

“Setidaknya kamu harus bersyukur karena ada seorang pangeran yang mau jalan sama kamu! Di negaraku, aku ini idaman para cewek, tahu! Kamu juga bisa lihat, kan, gimana gantengnya wajahku?”

“Ih, amit-amit!” aku menampakkan wajah mau muntah melihat kenarsisan tingkat akut itu. 

“Ah, bilang aja kalau demen,” goda Leon sambil mengedip. 

“Kagak,” aku mengelak sambil memalingkan wajahku untuk menyembunyikan semburat kemerahan yang muncul dengan sendirinya.

Aku tidak akan pernah mengatakannya, tapi diam-diam aku memang menyukai apa yang kulihat di sebelahku. Leon mengenakan pakaian yang kami beli kemarin, berupa jeans putih dan jaket hitam dengan sepatu sneakers-nya yang sudah bebas lumpur. Itu membuatnya kelihatan sporty dan trendi, juga... cool. Sementara aku mengenakan rok putih dan sweater hijau yang dihiasi bunga-bunga kuning serta sepatu berwarna cokelat. Kami berjalan beriringan tanpa bergandengan tangan. Meskipun begitu, banyak juga yang mengira kami ini pasangan. Semoga saja tidak ada kenalanku yang melihat kami di sini, karena aku pamit sama Mama untuk pergi ke toko buku. Sebenarnya tidak bohong juga, karena aku benar-benar akan ke toko buku yang terdapat di mall ini.

“Sekarang kita kemana?” tanya Leon saat kami tiba di persimpangan yang membagi mall tersebut menjadi empat penjuru.

“Kita makan aja, yuk?” ajakku karena mulai lapar. Sekarang sudah siang dan tanpa terasa aku sudah lapar lagi meski tadi sudah sarapan nasi pecel di rumah.

“Boleh, mau makan apa?” Leon menyetujui ideku. “Asal jangan kayak yang kemarin, ya!”

Kini giliranku yang tertawa, “Iya... iya... sekarang kamu, deh, yang pilih tempat makannya.”

“Oke! Yuk, ke sana! Sepertinya bagian makanan ada di sana,” Leon hendak menggandeng tanganku tapi segera kutepis.

“Eh, apaan, sih?! Bukan muhrim, tahu!” 

Lihat selengkapnya