Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah seperti biasa dan berusaha bersikap senormal mungkin di depan teman-teman sekolahku meskipun masalah “pangeran” itu belum beres juga. Semuanya berjalan lancar sampai waktu pulang sekolah tiba.
“Hari ini kamu ada acara apa, Na?” tanya Raisa, salah satu temanku di ekskul drama, yang berjalan bersamaku ke gerbang sekolah. Ia bertubuh pendek dan berkacamata.
“Seperti biasa, aku mau langsung pulang ke rumah dan malamnya harus pergi ke les bahasa Inggris,” sahutku.
“Oh, gitu. Kalau hang out sama kita, bisa, nggak? Rencananya aku sama Ina mau ke mall sore ini buat beli baju yang mau dipakai ke acara pernikahannya Bu Lilis. Itu, lho, guru bahasa Indonesia baru yang masih muda itu. Kamu juga diundang, kan?”
Aku mengangguk, “Iya, aku juga diundang, tapi kayaknya stok bajuku masih banyak, deh. Lagian ada...” aku segera menutup mulutku rapat-rapat saat hendak mengatakan “ada orang usil yang sedang menungguku”. Ya, Leon pasti tidak akan membiarkanku hidup dengan tenang kalau aku tidak mengunjunginya meski hanya sehari saja. Bisa-bisa dia muncul di pagar rumahku nanti! Karena itu pula sebenarnya aku menolak ajakan Raisa, karena ada Leon yang harus kuurus.
“ ‘Ada’ apa?” rupanya Raisa terus mengejar.
“Ada PR Sejarah yang banyak,” elakku sambil nyengir.
“PR Sejarah? Bukannya Sejarah nggak ada PR, ya? Yang ada kan Matematika?”
Gawat, aku lupa!
“Iya, maksudku PR Mate...”
“Raina!”
Aku membeku dengan wajah horor saat mengenali suara itu. Jangan... jangan... jangan.... kumohon jangan muncul di sini!
“Hei, Raina!”
Tapi dia justru menghampiriku. Ya ampun, kenapa dia bisa ada di sini?!
Leonardo Grenneth, tampak tampan sekali dengan t-shirt hitam dan jeans berwarna biru tua, mendekatiku dengan senyum lebar di wajahnya. Meskipun harus kuakui bahwa jantungku berdesir dan perutku jumpalitan lagi, tapi wajahnya yang tampan itu ingin sekali aku gampar sekarang.
“Na, ini siapa?” tanya Raisa, menatap Leon dengan terpesona. “Jangan bilang... pacar kamu, ya?”
Mendengar kata “pacar kamu”, beberapa anak terdekat langsung mengalihkan perhatian mereka pada kami. Sebagian berbisik-bisik dan sebagian lagi menonton dengan penuh rasa ingin tahu.
“Bukan... dia ini...”
“Ah, kenapa masih malu-malu, sih, Sayang?” tiba-tiba saja Leon berkata dengan nada mesra. “Kita kan sudah bersama sejak lama.”
Aku melototinya dan hampir saja kutampar anak ini, namun sorakan dari sekelilingku menghentikan tindakan itu.
“Cie... Raina sudah punya pacar. Turunan bule, lagi!” goda Indira, wakil ketua kelas sebelah, yang mengenalku di ekskul drama.