My Lost Prince

Rosa L.
Chapter #13

Tuduhan

Kafe yang kukunjungi bersama Leon siang ini memang indah. Letaknya di puncak sebuah gedung pencakar langit, sehingga aku bisa menikmati keindahan panorama kotaku dari ketinggian yang cukup menakjubkan. Di sebelah kami ada air mancur yang makin memperindah suasana. 

Meja dan kursi yang kami duduki terbuat dari kayu yang dicat putih dan sebuah payung besar berwarna senada menancap di sebelah meja, memayungi kami dari sinar matahari yang tidak dihalangi oleh sesuatu apapun dari atas. Angin sepoi-sepoi yang belum terkontaminasi polusi membuat suasana makin cozy. Tapi...

“Aku heran gimana orang yang belum pernah menginjakkan kakinya ke kota ini bisa tahu ada kafe sebagus ini. Padahal letaknya lumayan tersembunyi, lho, di atap gedung,” sindirku, yang membuat Leon terbatuk-batuk saat menyeruput milkshake cokelatnya. 

“Aku dengar tentang kafe ini dari Pak Rahman,” kelit Leon, begitu tidak masuk akal sampai aku tertawa.

“Aku tahu kalau kamu sebenarnya tinggal di kota ini. Kamu anak seorang bule, kan? Tante Martha pernah ketemu kamu, kan? Lalu kenapa kamu berakting sebagai pangeran tersesat begini? Oh, jangan-jangan...” aku menebak-nebak. “Kamu sengaja ngelakuin ini sebagai alasan untuk ngedekatin aku?” Leon terbatuk-batuk begitu hebat sampai orang yang tidak tahu pasti mengira ia terkena TBC. “Aku benar, kan?”

“Ngaco kamu,” tepis Leon, lalu berusaha menormalkan dirinya yang setengah tersedak. “Kenapa aku harus ngelakuin itu?”

“Karena aku susah dideketin kalau nggak dengan cara begini! Selama ini aku bersikap begitu anti dengan cowok dan karena tahu hal itu, kamu gunakan cara ini buat ngakalin aku. Caramu memang nggak biasa dan aku akuin kalau sudah tertipu, tapi sudah cukup,” pungkasku. “Mulai besok kita nggak perlu ketemu lagi. Aku muak dibohongin begini!”

“Tunggu dulu, dong, Na. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan,” bujuk Leon. “Aku nggak perlu ngelakuin itu buat ngedapetin kamu. Soalnya aku kan...”

“Ya?”

Leon gelagapan sejenak, namun kemudian berkata, “Soalnya aku kan pangeran.”

“Aku yakin tadi bukan itu yang mau kamu katakan. Sudah, deh, akhiri semua permainan ini! Mungkin aku belum tahu siapa kamu sebenarnya, tapi aku tahu bahwa kamu bukan pangeran!” tukasku. Leon menundukkan kepalanya. “Apa kamu menyesal sekarang dan ingin mengaku?”

“Nggak. Aku sedih karena kamu nggak percaya sama aku,” katanya dengan nada lirih.

“Jangan berlagak sok melankolis gitu, deh! Nggak mempan! Aku nggak sebodoh yang kamu pikirkan! Lagian kupikir masalahmu sudah beres.”

Leon mendongak dengan kaget, “Beres apanya?”

Aku memainkan sedotan jus jerukku sebelum berkata, “Bukannya kamu sudah sadar bahwa kamu masih punya kartu debit? Berarti kamu sudah bisa mesan tiket pesawat untuk pulang, kan?”

“Uang di rekeningku nggak cukup untuk mesan tiket,” kilah Leon tanpa memandang mata cokelat gelapku.

“Ya sudah, berapa kekurangannya, sini aku tutupin sisanya! Tenang aja, kamu nggak perlu ganti, kok! Asalkan kamu nggak muncul lagi di hadapanku besok, aku akan lakukan apa saja!” tandasku. Leon memandangku cemberut.

“Segitu nggak sukanya, ya, kamu sama aku sampai kamu mau aku cepat pulang?”

Lihat selengkapnya