Sangat malu.
Itulah yang kurasakan saat Leon membopongku dari lantai paling atas sampai lantai paling bawah di gedung pencakar langit itu, membuat entah berapa puluh pasang mata memandang kami dengan geli, bahkan beberapa orang mendengus tertawa.
Memalukan. Memalukan. Memalukan.
Pak Udin tidak membantu dengan mesem-mesem begitu kami mendekati tempat parkir.
“Pak, jangan ketawa! Jangan ketawa!” ancamku melihat Pak Udin sudah sangat nyaris tertawa terbahak-bahak.
“Iya, Non. Humph!” ia buru-buru menutup mulutnya untuk menahan tawa. Awas dia!
Dibukakannya pintu belakang buat kami dan Leon mendudukkanku layaknya tuan putri dengan lembut. Ia tersenyum waktu menatapku, sementara aku memelototinya. Hah! Tidak ada senyum balik buatmu!
Meskipun dipelototi, anehnya, Leon justru terus senyum-senyum tanpa rasa bersalah. Aku benar-benar ingin menggeplak anak ini!
Setelah kami berdua masuk, Pak Udin menutup pintu dan kembali ke jok depan, lalu mobil pun bergerak.
“Jadi, ada apa sampai Non Raina harus digendong seperti itu?” tanya Pak Udin dengan sama sekali tidak sensitif.
“Saya menyelamatkannya dari naga beracun di puncak menara, Pak,” kata Leon asal.
“Hah?” Pak Udin bengong.
“Saya terkilir, Pak,” aku langsung menyela.
“Oh, kirain...”
“Kirain apa, Pak?” aku menyambar segera. “Saya dan dia nggak ada hubungan apa-apa, kok!”
“Ah, masa, sih?” goda Pak Udin.
“Kok Bapak juga nggak percaya sama saya?”
“Soalnya...” Pak Udin tidak melanjutkan, hanya mesem-mesem.
“Pak, apapun yang Bapak pikirkan, sebaiknya simpan rapat-rapat dan jangan bikin gosip, ya. Saya ini masih mau konsentrasi belajar. Cowok sih ke laut aja,” kataku dengan sengaja sambil memandang tajam Leon. Yang bersangkutan justru tersenyum, membuatku buru-buru memalingkan wajah, malu ketahuan blushing.
“Iya, saya percaya...” Pak Udin mengeluarkan kata-kata yang biasa dikeluarkannya kalau tidak mempercayai sesuatu. “Sekarang mau kemana, Non?”
“Kemana lagi? Langsung pulang, lah! Kan saya ada les bahasa Inggris sebentar lagi,” sahutku mantap.
“Kamu yakin masih bisa les dengan kondisi kaki bengkak begitu?” tanya Leon meragukan.
“Bi... bisa, kok. Kalau nggak, ya, istirahat aja di rumah. Kamu buruan cari tiket, ya,” lalu aku berkata pada Pak Udin. “Pak, Leon mau pulang, lho, sebentar lagi. Jadi kita nggak perlu repot-repot lagi.”
“Kok cepat banget, Den? Belum juga main ke rumah,” timpal Pak Udin seakan menyesal.