Keesokan harinya, aku tidak bisa pergi ke sekolah karena kakiku masih kelihatan bengkak akibat terkilir. Padahal hari ini ada ulangan Geografi dan aku malah terbaring di sini.
Ini semua gara-gara Leon! Dia sudah mulai menghancurkan pelan-pelan hidupku yang sempurna. Pertama, dia menghancurkan reputasiku dengan pura-pura jadi pacarku. Lalu kedua, dia membuat kakiku terkilir saat berusaha menghindarinya, yang membuatku ketinggalan pelajaran hari ini. Oke, yang kedua mungkin tidak disengaja, tapi tetap saja...
“Raina~” suara laki-laki yang ceria membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum otomatis saat melihatnya mendekatiku dari pintu kamar yang terbuka.
Ia bertubuh tinggi, berkulit cerah, dan berambut hitam sedikit jabrik. Hari ini ia memakai t-shirt berkerah yang berwarna merah dan celana hitam. Sebuah tas ransel berwarna cokelat menggayut di salah satu lengannya. Wajahnya jelas saja good looking.
“Kak Ravi,” aku menyambutnya dengan tangan terbuka. Kakak ketigaku, Ravi, tersenyum lebar dan memelukku dengan penuh semangat, lalu duduk di tepi kasurku. Ia sudah kuliah di salah satu universitas swasta yang bergengsi, mengambil jurusan teknik mesin.
“Katanya hari ini adikku yang paling cantik ini sakit, ya? Kakinya bengkak? Duh, kasihan,” katanya sambil mengelus rambutku.
“Iya, gara-gara si breng...” Kak Ravi langsung mendongak, jadi aku segera meralat, “Eh... gara-gara jatuh waktu jalan-jalan.”
Aku tidak sekejam itu dan membiarkan Kak Ravi tahu tentang eksistensi Leon atau bagaimana dia sudah secara tidak langsung telah membuatku terkilir. Kakak ketigaku ini sangat jago berkelahi dan sudah menyandang ban hitam taekwondo, belum lagi ia mempunyai sifat sister complex.
Untunglah, Kak Ravi sama sekali tidak mencurigai perubahan alasanku dan kembali berekspresi normal. Ia menyibak selimutku untuk mengecek kondisi kakiku, yang dapat dengan mudah terlihat karena hari ini aku sengaja memakai daster berwarna putih agar tidak mengganggu proses pengobatan.
“Wah, iya... bengkak parah, nih,” ia menekan tepat di area yang bengkak, membuatku mengaduh.
“Aaw!”
“Hihihi... sori,” ia membentuk tanda peace dengan tangannya, lalu menyarankan, “Sebaiknya panggil tukang pijat, gih. Ntar nggak sembuh-sembuh, lho, bengkaknya.”
“Iya, nanti aku mau minta dicariin sama Bi Sumi,” aku menurut. Seseorang masuk ke kamarku dan ikut bergabung dengan Kak Ravi. “Mama!”
Mama tersenyum padaku dan mencium pipiku. Seperti biasa, Mama kelihatan cantik memakai rok panjang berwarna jingga yang dipadukan dengan kemeja berwarna putih yang ditimpuk dengan blazer yang sama-sama berwarna jingga. Kali ini Mama memakai jilbab jingga.