My Lost Prince

Rosa L.
Chapter #18

Pangeran Datang!

Menjelang siang, aku merasa lapar dan karena tidak bisa turun ke bawah untuk memberitahu para pembantuku, kuambil smartphone-ku dan menulis chat untuk mereka agar disiapkan makan siang. Setelah pesanku di-read, aku membaringkan diri di atas kasurku. Mataku menatap ke langit-langit kamar yang berwarna putih dan dihiasi lampu gantung kristal ukuran sedang. Dalam diam, aku memikirkan semua hal yang terjadi padaku selama lima hari ini.

Pertama, aku bertemu anak laki-laki ekspatriat yang berkata bahwa dirinya adalah seorang pangeran. Kedua, aku harus membantunya membereskan segala urusan yang seharusnya bukan menjadi urusanku. Ketiga, aku mengetahui banyak kejanggalan yang membuatku curiga bahwa dia sebenarnya hanya pura-pura untuk maksud dan tujuan yang masih samar. Keempat, dengan sangat menakjubkan, ia diterima dengan mudah di keluargaku yang sebelumnya sangat anti dengan laki-laki yang ingin mendekatiku. Kelima, Papa mengatakan hal-hal yang aneh tadi pagi.

Aku menghela napas. Mungkinkah semuanya terkait satu sama lain? Sepertinya tidak mungkin, tapi kenapa kejadian-kejadian aneh ini terjadi secara beruntun? Apapun itu, namun yang pasti, hidupku yang sempurna ini mulai goyah sejak kedatangan Leonardo Grenneth, sang pangeran dari negeri Rize... oh, lupakan. Sangat tidak penting untuk mengingat-ngingat...

Ceklek!

Wow, cepat sekali para pembantuku kali ini! Mungkin nanti aku akan minta Mama menaikkan gaji mereka atau apa.

Aku pun mengangkat kepalaku setinggi beberapa senti hanya agar tidak salah memberikan instruksi pada pembantu yang membawakanku makan siang, tapi ternyata...

“Halo, Na!”

Oh, tidak!

Aku sontak mengangkat tubuhku sampai posisi duduk dan menatap dia dengan sadis. Kedua tanganku secara otomatis kuletakkan di pinggang.

Dia mengenakan jeans putih dan jaket krem yang waktu itu, namun keserasian pakaiannya sama sekali berbanding terbalik dengan kesanku saat melihatnya seenaknya saja menerobos kamarku.

“Ngapain ke sini?” tanyaku judes. Dia hanya tersenyum dan tanpa permisi langsung duduk di tepi tempat tidurku. Senyumnya memang membuat hatiku berdesir, tapi aku tetap tidak nyaman berada satu kamar begini dengan laki-laki yang bukan siapa-siapaku. 

“Seharusnya kamu merasa terhormat karena ada seorang pangeran yang mau menjengukmu waktu lagi sakit. Kulihat kamu kesepian,” sahutnya dengan nada menggoda. 

Aku melengos, “Leonardo Grenneth, sebaiknya kamu cepat pergi, deh. Lagian gimana kamu bisa tahu kalau aku nggak masuk sekolah, sih?”

“Aku tahu dari Pak Rahman. Dia diberitahu Pak Udin,” sahutnya, lalu berkata dengan nada manja. “Aku kangen sama kamu.” 

Aku membelalakkan mataku mendengar pengakuan jujur nan polos itu, apalagi ketika Leon dengan inosennya melingkarkan tangannya ke sekeliling badanku.

“Hei, apa yang...”

“Nggak ada kamu sebentar aja udah kayak gimana gitu,” potong Leon, lalu dia menatapku sambil mendecapkan bibirnya. “Aku sudah nggak sabar.”

Meskipun tidak mengerti apa maksudnya, tapi keberaniannya memelukku telah membuatku meledak marah. Segera kudorong tubuhnya keras-keras.

“Lepaskan!” teriakku. Dia terjatuh ke lantai. Aku segera membarikade diriku dengan tumpukan bantal. Ketika kulihat dia bangun, aku segera memekik. “Jangan mendekat! Jangan mendekat! Jaga jarak dariku atau aku akan menjerit sekeras-kerasnya biar para tetangga datang dan gebukin kamu!” 

Leon justru tertawa dengan indahnya, membuat perutku bergejolak lagi.

“Oke... oke... aku duduk di sini saja. Puas?” Leon duduk di meja sebelah tempat tidurku. 

“Nggak sopan banget, sih, duduk di meja!” umpatku.

“Memangnya kamu siapa? Guru tata kramaku?” gerutu Leon sambil bersedekap.

“Kamu tuh, ya, datang-datang bukannya ngehibur tapi malah bikin aku susah! Sudah tahu aku lagi sakit!” kataku mengeluh.

“Habis kamu sih overacting! Coba tadi diam aja...”

“Kamu menyentuh aku!”

Lihat selengkapnya