“Kok diam?” tanya Leon saat piring makan siangku sudah nyaris kosong. Aku yang sedang banyak pikiran tersentak mendengar suaranya.
“Apa?” aku justru balik bertanya heran. Leon tersenyum dan menyendok sesuap nasi lagi untukku, yang kulahap dengan patuh.
“Biasanya kamu bawel banget, tapi sejak bicara dengan Tante Martha, jadi diam kayak boneka yang dicabut baterainya. Memangnya dia bilang apa sama kamu?”
Aku tidak langsung menjawab, melainkan menghela napas, lalu memandang Leon dengan galau.
“Leon...”
“Apa?” tanya Leon sambil menyuapiku lagi.
Aku mengunyah dan menelan makananku sebentar sebelum meneruskan, “Kamu... pangeran beneran?”
Leon membeku sejenak sebelum kemudian tertawa terbahak-bahak sampai piring di tangannya terguncang hebat. Beberapa potong sayur dan lauk sampai berjatuhan ke lantai. Aku jadi tersinggung.
“Hei, aku tanya dengan serius!” tegurku kesal.
“Iya... iya...” Leon berusaha meredakan tawanya. “Tapi kenapa tiba-tiba kamu tanya begitu? Tante Martha ngomong apa sama kamu? Apa dia bilang kalau aku ini pangeran beneran?”
“Aku hanya merasa... kalau kamu pangeran beneran, terus aku memperlakukan kamu kayak gini, jadi...” aku berhenti, tanpa sadar mataku berkaca-kaca.
Leon menatapku sebentar, lalu berkata, “Jadi kamu baru percaya kalau aku ini pangeran asli dan bukan anak ekspatriat tersesat seperti tuduhanmu selama ini?”
“Itu... aku sebenarnya juga masih... ragu... tapi... dari kata-kata Tante Martha sepertinya... kamu pangeran beneran, deh. Tapi gimana, ya? Aku masih bingung...”