Pukul enam sore, Sutirah, salah seorang pembantuku, masuk ke kamarku setelah mengetuk pintu. Aku yang sedang asyik browsing dengan laptop putihku menoleh ke arahnya dengan lumayan kaget. Pertama karena aku tidak memanggilnya dan kedua karena ada gaun mewah berwarna keemasan di tangannya.
“Rah, kenapa kamu ke sini? Apa itu di tanganmu?” tanyaku beruntun sambil menunjuk barang-barang di tangan Sutirah. Pembantuku yang masih muda dan memakai daster merah itu tersenyum.
“Ini disuruh Nyonya, Non. Katanya buat makan malam nanti,” sahut Sutirah sambil meletakkan barang-barang itu di atas tempat tidurku. “Nyonya juga minta saya untuk membantu Non Raina buat berdandan. Mandi dulu, ya, Non. Saya siapkan air panasnya, terus saya bantu masuk kamar mandi. Kakinya masih sakit, ya, Non?”
Aku mengangguk.
"Saya lihat yang datang itu tamu penting, lho, Non. Banyak pengawalnya dan mobilnya bagus,” seloroh Sutirah, lalu masuk kamar mandiku dan suara keran dinyalakan terdengar dari dalam.
Jadi tamunya sudah datang? Bawa banyak pengawal dan mobil bagus? Tapi kan dia bukan satu-satunya yang punya pengawal dan mobil bagus! Kali aja tamu Papa itu menteri atau pejabat negara yang lain!
“Non, airnya sudah siap. Saya bantu masuk ke sini, ya?” Sutirah sudah keluar dari kamar mandi dan menghampiriku di kasur.
Dibantu Sutirah, aku berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi. Sutirah menunggu di luar selama aku mandi, kemudian ia membantuku yang sudah selesai mandi untuk memakai gaun indah tadi.