My Lost Prince

Rosa L.
Chapter #24

Rahasia yang Terungkap

Ya, benar, di sisi meja makan adalah Nicholas Grenneth, yang katanya adalah seorang raja, sedang memakai tuxedo hitam dan kelihatan begitu memukau. Penampilannya jauh lebih mengesankan daripada yang kulihat di foto yang ditunjukkan Tante Martha. Di sebelahnya ada seorang perempuan yang sangat cantik, bertubuh langsing, dan berkulit kuning langsat. Perempuan itu memakai gaun indah berwarna merah marun. Kalau dari ciri-ciri fisiknya, sepertinya perempuan itu adalah orang Indonesia. Itukah Maharani Chandra Kirana, yang katanya adalah seorang ratu? Lalu kenapa mereka berdua ada di sini? Masa mereka ini adalah tamu penting yang dimaksud Papa? Tapi tidak ada orang lain lagi selain mereka. Oh, tidak...

Seolah mengabaikan pikiran kalutku, Leon memasuki ruang makan dengan penuh percaya diri. Ia menurunkanku di kursi sebelah kakak keempatku, Kak Rauf, yang malam ini memakai tuxedo hitam dengan kompak bersama anggota keluarga laki-lakiku yang lain (Mama mengenakan gamis dan jilbab berwarna keemasan agar matching denganku). Kakak keempatku ini berambut sedikit berantakan dan berkulit sawo matang. Sama seperti Kak Ravi, ia sudah kuliah, namun berhasil masuk universitas negeri di jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Ketika melihatku didudukkan oleh Leon, ia menatap kami dengan pandangan dingin, sepertinya marah. Memang dia sangat sister complex. Aku tidak akan heran kalau dia menerjang Leon karena sudah berani menyentuhku, sayangnya sepertinya itu tidak akan terjadi kali ini karena Leon datang bersama kedua orangtuanya.

Usai mendudukkanku, Leon berjalan ke sisi lain meja makan, kemudian duduk di sebelah perempuan cantik yang sepertinya ibunya itu. Ia memandangku sambil tersenyum, meski aku hanya mencibir. Seperti biasa, debaran di dadaku selalu muncul tiap kali melihat senyuman itu namun kali ini aku tidak suka dengan tindakannya yang sudah membopongku sampai ke sini. 

Suasana hening setelah baik Leon dan aku sama-sama duduk, sampai akhirnya Papa bersuara, “Sepertinya semua sudah lengkap. Sebelum membicarakan topik yang rumit, bagaimana kalau kita mengisi perut terlebih dahulu? Kami sudah berusaha menyajikan hidangan terbaik untuk menghormati Anda sekeluarga. Silahkan.”

Tanpa bicara lagi, semua orang mulai meraih peralatan makan masing-masing dan mengambil makanan yang sesuai seleranya. Di meja makan memang terhidang puluhan piring masakan yang berbeda-beda, mulai dari masakan Indonesia, western, kombinasi, sampai masakan yang aku tidak tahu apa jenisnya. Dan masakan-yang-aku-tidak-tahu-apa-jenisnya itu yang diambil oleh Om Nick dan istrinya. Apa mungkin itu adalah makanan tradisional negera mereka? Aku ingin mencoba tapi takut tidak sopan jika nanti memuntahkannya kalau ternyata tidak enak. Masakan itu berupa sesuatu yang lonjong (mungkin sayur?) yang dibumbui oleh semacam saus berwarna merah. Sepertinya pedas.

Leon tidak mengambil masakan yang sama dengan orangtuanya, melainkan ayam goreng saus mentega. Papa dan Mama mengambil soto Madura, Kak Reyhan mengambil nasi goreng, Kak Ryan mengambil rendang, Kak Ravi mengambil semur ayam, dan Kak Rauf mengambil rawon. Awalnya aku sedikit bingung mau mengambil apa, namun akhirnya mengambil semur ayam seperti Kak Ravi.

Keheningan menyelimuti kami saat semua orang mulai makan. Yang terdengar hanya denting peralatan makan yang cukup pelan. Sesekali aku menatap Leon dan orangtuanya, masih bertanya-tanya apa maksud kedatangan mereka kemari. Seperti proses lamaran saja... ups! Apa jangan-jangan itu maksud... ah, tidak mungkin! Aku masih SMA, masa sudah mau dinikahkan? Aku masih ingin kuliah di jurusan kedokteran, bukan jadi seorang istri! Tapi apa kamu tidak mau jadi tuan putri? bujuk hati kecilku. Hei, dia belum tentu pangeran asli!

Sebenarnya aku ingin sekali bertanya pada Papa atau anggota keluargaku yang lain mengenai kedatangan kedua orangtua Leon ke rumah ini, namun sepertinya akan sangat tidak sopan kalau aku berbisik-bisik di depan tamu. Aku juga heran kenapa justru mereka yang menjadi “tamu penting” bagi keluarga kami sampai mengharuskan semua anggota keluarga untuk hadir. Kalau melihat dari istimewanya sikap seluruh keluargaku (minus Kak Ryan) akan kehadiran Leon, maka kemungkinan yang paling besar adalah... TIDAK!

Aku berusaha keras mengenyahkan bayangan prosesi lamaran di benakku, meski kalau bukan karena itu, lalu untuk apa lagi, coba, seorang laki-laki sampai membawa orangtuanya ke rumah seorang perempuan yang bukan muhrimnya. Tapi kalau melihat cerita Leon kalau dia tersesat... tunggu, bisa jadi dia bohong soal itu. Kalau begitu lantas kenapa orangtuanya... ah, membingungkan sekali! Seseorang, tolong jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi!

Sayangnya, aku harus menunggu selama dua puluh menit sampai bisa mendengar seseorang memberi penjelasan, yaitu saat semua orang sudah selesai makan. Setelah Sutirah dan Bi Sumi mengangkati semua piring kotor dan sisa makanan di meja, suasana jadi hening dan itulah saat Papa mulai bicara, “Jadi, setelah kita semua kenyang, ada baiknya pembicaraan ini dimulai.” 

Aku menunggu dengan tegang. Sejenak semua orang saling pandang untuk menunggu siapa yang akan bicara selanjutnya, namun ternyata Papa kembali bersuara, “Pertama-tama, Raina, apa kamu sudah mengenali orang-orang di sebelah sana?”

Mukaku panas dipandangi oleh semua orang di ruangan itu, namun akhirnya menjawab juga dengan kagok, “Emm... sudah... yang di sana itu Om Nicholas Grenneth, kan?” jangan, jangan bilang kalau dia adalah seorang raja! Kalau salah akan sangat memalukan! “Lalu yang di sebelah beliau, kalau tidak salah namanya Tante Maharani Chandra Kirana. Dan di sebelahnya lagi―” pangeran tersesat! “―Leonardo Grenneth.”

Lihat selengkapnya