Ketika aku membuka mata, kamarku dalam kondisi temaram. Sepertinya masih malam. Satu-satunya cahaya di kamarku hanya berasal dari lampu duduk yang berada di meja sebelah tempat tidurku.
Kulihat jam dindingku yang berbentuk bunga matahari untuk memastikan waktu, dan ternyata menunjukkan pukul satu dini hari. Aku pasti menangis di dada Kak Rauf sampai tertidur.
“Hei...” mataku melebar mendengar suara itu. “Sudah bangun?’
Aku ingin sekali tidak menanggapinya, namun bagaimana mungkin aku bisa mengabaikan seseorang yang menjadi tamu tak diundang di kamarku sendiri?
Dengan enggan, aku menatapnya, yang ternyata sedang berdiri di dekat meja samping tempat tidurku. Ia masih mengenakan pakaian yang tadi, namun matanya tampak sayu. Kelihatannya dia mengantuk.
“Kenapa kamu di sini?” tanyaku dingin tanpa menatapnya. Ia menghampiriku dan duduk di sisi tempat tidurku. Kemudian ia diam saja sambil menatapku. “Apa, sih? Ada perlu apa?” ia tidak menjawab, namun tangannya kemudian terangkat, mengelus pipiku. Aku menepis tangan itu kasar. “Jangan pegang-pegang!”
“Na, aku ini...”
“Aku tahu kamu itu siapa, tapi aku tetap nggak suka kalau kamu menyentuh aku! Ingat, pernikahan kita hanya berlaku setelah kita lulus sekolah! Sekarang kita nggak beda dengan teman biasa!” selorohku pedas.
“Tentu beda, dong. Teman biasa nggak bisa meluk, nyium, atau...”
“Stop!” bentakku. “Kamu nggak dengar bahwa kita hanya bisa seperti itu setelah lulus sekolah?”
Leon nyengir, “Tapi pegang-pegang dikit boleh, kali, Na...”
“Enggak!” tandasku tegas. Diam sebentar.
“Apa benar kamu mau menceraikan aku?” tanya Leon dengan pelan.
“Iya,” sahutku mantap tanpa berpikir. “Kamu pikir aku bisa nerima gitu aja dijodohin kayak Siti Nurbaya? Hello, ini sudah abad 21, Bung!”
“Bukannya kamu suka sama aku?” tanyanya dengan inosen.
“Ngarang!” aku memukulnya dengan bantal terdekat. “Itu hanya imajinasi otak mesummu saja!”
“Sungguh?” Leon tersenyum menggoda, sangat manis sampai membuat blushing tapi aku memalingkan wajahku.
“Iya!”
“Coba bilang begitu sambil menatap mataku,” tantang Leon.
Aku tak bergeming.
Kalau menatap matanya, bisa-bisa aku...
“Tuh, kan, nggak bisa. Kamu suka sama aku, Na, tapi kamu nggak mau ngaku saja. Kamu dengar kan kalau kesempatan nggak datang dua kali? Sekali kamu ceraikan aku, maka selamanya kita nggak bisa balik lagi!”
“Siapa bilang kita nggak bisa balik lagi? Bisa rujuk selama talaknya belum nyampe tiga! Kamu belajar agama, nggak?” tanyaku menyindir.