My Lost Prince

Rosa L.
Chapter #28

Kata Terakhir

Suasana terminal keberangkatan luar negeri tidak terlalu ramai. Mungkin karena masih pagi. Aku terduduk di bangku tunggu, sementara kudengar Om Nick mengoceh dengan Papa tentang rute penerbangannya.

“Hei, Na,” Leon mencolekku yang sedang bengong. 

“Apa?” tanyaku tak bersemangat. Entah kemana larinya semua semangatku saat mendengar Leon hendak pulang.  

“Kok lesu gitu, sih? Aku baru mau pulang aja sedih gitu, gimana lagi kalau aku sudah beneran pulang? Bisa nangis meraung-raung kali, ya?” goda Leon. Aku meninju lengannya kesal.

“Nggak, lah! Ini bukan karena kamu,” elakku lalu kembali bersandar di kursi tunggu.

“Oh, ya? Lalu karena apa?” tanya Leon mengejar.

“Karena...” aku kesulitan cari alasan lain.

“Karena kegantenganku?”

Pukulanku yang lain langsung melayang, namun ia menghindar sambil tertawa. Kulihat pengawal Leon mendelik padaku. Oh iya, dia kan pangeran. Untung aku bukan orang asing, kalau tidak, aku pasti sudah dihajar. Karena itu pula aku tidak mengejarnya dan kembali terpuruk di kursiku. Leon duduk lagi di sebelahku.

“Nggak seru, nih! Kamu lemas kayak gini!” komentarnya tidak senang.

“Terus kamu mau apa?” tanyaku tak bergairah.

“Gimana kalau aku cium kamu biar lebih semangat?”

“Eh, jangan kurang ajar, ya!” teriakku, membuat hampir semua orang menoleh ke arahku. Menyadari begitu banyak pandangan mengarah padaku, aku nyengir kagok sampai mereka mengalihkan pandangan. Di sebelahku, Leon tertawa terbahak-bahak. 

“Kamu ingin mempermalukan aku, ya?” secara diam-diam, aku memukulnya. Ia berusaha menghindar, tapi susah dilakukannya sambil duduk. Akhirnya dia menangkap tanganku. “Lepasin! Lepasin, nggak?”

“Nggak!” 

“Jangan pegang-pegang! Lepasin!” 

“Panggilan untuk penerbangan dengan nomor...”

“Itu pesawat kita,” Om Nick menyela suara si pemberi pengumuman. “Ayo Leon, Kirana, kita berangkat.”

Serasa ada sesuatu yang hilang dalam dadaku ketika mendengar Leon akan pergi meninggalkanku. Rasanya.... hampa...

“Yuk, aku pulang dulu, ya. Sesuai harapanmu selama ini,” katanya setengah menyindir sambil melepaskan tanganku, lalu bangkit dari kursi tunggu. Aku hanya bisa menatapnya dengan nanar.

Jangan pergi. Jangan pergi. Jangan pergi, hati kecilku berteriak berulang-ulang, tapi bibirku kelu. Aku tidak tahu kenapa hatiku bisa berkata seperti itu atau kenapa aku merasakan apa yang sekarang kurasakan. Aku kan tidak suka padanya, jadi tidak apa-apa, kan, kalau dia pergi? Tapi kenapa...

“Raina, ikut, yuk, sampai sana,” Mama menarikku sampai bangun, sementara aku hanya bengong. Leon berjalan dua meter di depanku, tampak bicara dengan ibunya. Mendadak aku merasa cemburu pada ibu Leon. Saat terakhir begini malah mencuri kesempatanku untuk bisa bersama dia! Lho, kenapa aku ini?

Lihat selengkapnya