My Lost Prince

Rosa L.
Chapter #30

Rinnesevia

Tiga hari kemudian, aku bersama Papa dan Kak Ryan berangkat ke Rinnesevia. Mama tidak bisa ikut karena harus menggantikan Papa mengurus perusahaan. Sebagai gantinya, Kak Ryan yang ikut karena dia adalah pengacara yang akan mengurusi semua masalah legal terkait pernikahanku. 

Untuk sampai ke Rinnesevia, dibutuhkan hampir 23 jam perjalanan. 17 jam perjalanan dengan pesawat, lalu 6 jam perjalanan menaiki kapal laut. Benar-benar hebat. Untunglah kami, yang mengetahui hal ini, sudah mempersiapkan diri dengan mengenakan mantel tebal. Mantel Papa dan Kak Ryan sama-sama berwarna hitam, sementara mantelku berwarna hijau.

Setelah turun dari kapal, aku sempat mengalami gangguan keseimbangan sesaat karena ombaknya tadi cukup besar (dan aku mengakui kalau mabuk laut sepanjang perjalanan). Aku sempat berpegangan pada Papa sambil membiasakan diri dengan daratan. Beberapa kali aku tertubruk orang karena suasana pelabuhan itu sangat ramai. Berbagai macam ras manusia bercampur-aduk di pelabuhan itu, bukan hanya orang kulit putih, namun juga kulit berwarna sampai kulit hitam. Kebanyakan dari mereka juga baru turun dari kapal, nampak dari mantel bepergian tebal yang mereka gunakan. Berbagai jenis bahasa didengungkan oleh mereka, bukan hanya bahasa Inggris tapi juga bahasa asing lainnya. 

Areal pelabuhan di sekitarku tampak modern. Bangunan-bangunannya sepertinya masih baru dan dirancang dengan artistik. Belum lagi pelabuhan itu tampak bersih meski lautan manusia memenuhi tiap jengkalnya. Ini bahkan jauh lebih baik dari pelabuhan di kota tempatku tinggal. 

Taksi-taksi berwarna kuning yang merupakan sedan model baru berseliweran disana-sini. Beberapa mobil pribadi yang kelihatannya mewah atau hybrid juga nampak, begitu pula truk-truk yang gagah dan masih kinclong. Sepertinya, walaupun kecil, micronation ini cukup sejahtera.

Kami dijemput oleh pihak kerajaan. Rombongan penjemput menyediakan sebuah limusin untuk kami dan beberapa kendaraan pengawal. Aku sempat teringat akan candaanku pada Leon untuk menyediakan limusin untukku suatu hari nanti, namun tidak menyangka bahwa dia benar-benar akan mengabulkan keinginanku. Meskipun demikian, aku kecewa karena Leon tidak termasuk dalam rombongan yang menjemput kami. Tadinya kupikir dia akan langsung melompat dan memelukku begitu aku menginjakkan kaki di negaranya. Katanya kan dia mencintaiku! Tapi ternyata ia tidak tampak batang hidungnya.

“Mana Leon?” tanyaku, tanpa sadar menggunakan bahasa Indonesia, pada seorang penjemput pria berambut pirang yang mengenakan jas dan kacamata hitam.

“Yang Mulia sedang ada pekerjaan lain, jadi tidak bisa menjemput kalian. Mohon dimaklumi,” jawabnya dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih, membuat kekecewaanku bertambah. Urusan apa yang lebih penting dari menjemput istri yang dicintainya?

Tanpa banyak bicara, kami segera masuk ke dalam limusin. Aku duduk dekat Papa. Di sebelahnya, Kak Ryan tampak sibuk mendengarkan musik melalui earphone yang tertancap di smartphone-nya. 

Limusin yang membawa kami berjalan dengan perlahan setelah kendaraan pengawal berupa jeep yang berada di paling depan mulai bergerak. Aku menyaksikan pemandangan dengan seksama, ingin tahu seperti apa tempat tinggal Leon.

Lihat selengkapnya