Menjelang jamuan makan malam, aku berdandan dengan tidak bersemangat. Gaun yang kukenakan memang indah, rancangan seorang desainer berupa kebaya putih yang menjuntai sampai lantai dipadu dengan jarik berwarna cokelat lembut. Namun kejadian tadi sore masih terbayang di benakku dan rasa sakitnya membekas sampai sekarang. Bayangan Leon meninggalkanku semakin membuat dadaku sakit. Ini jelas-jelas aneh. Bukankah itu tujuanku ke sini, untuk melepaskannya? Lalu kenapa aku malah jadi sentimentil begini?
Suara pintu diketuk membuyarkan lamunanku. Aku menduga itu adalah pelayan yang akan menjemputku, karena itu segera memulaskan sentuhan akhir dandananku, berupa lipgloss, dan keluar dari kamar.
Benar saja, seorang pelayan wanita bertubuh tinggi dan berkulit putih telah ada di depan kamar.
“Tuan Putri, kehadiran Anda sudah ditunggu di ruang makan. Silakan,” kata si pelayan dengan bahasa Indonesia yang berlogat asing.
Aku mengikutinya melewati begitu banyak koridor, yang sama sekali tidak kuhiraukan. Pikiranku tertuju pada Leon, dan bagaimana caranya agar bisa lepas dari kesedihan ini.
Tadinya aku pikir dengan meninggalkannya akan membuat hidupku lebih baik, ternyata malah membuatku lebih... sakit? Apakah jangan-jangan aku mulai mencintainya? Tidak mungkin! Bagaimana mungkin aku mencintai pangeran yang... tampan, pandai, dan mencintaimu? sela hati kecilku. Dia tidak... oke, dia memang tampan, pandai dan mencintaiku, tapi dia sangat menye... nangkan? potong hati kecilku lagi. Diam saja kau!
“Kita sudah sampai,” sang pelayan mengumumkan, membuatku tersentak.
Aku sudah tiba di ruang makan yang luas. Langit-langitnya dihiasi lampu gantung kristal besar yang kini tengah menyala indah. Lukisan-lukisan makanan tergantung di dinding dan meja makan panjang ada di tengah ruangan, dengan kursi yang tak terhitung banyaknya di kanan-kirinya. Taplak beludru berwarna ungu dengan bordir keemasan melapisi meja itu lengkap dengan beberapa tempat lilin klasik berwarna emas.
Di sisi kiri meja makan sudah tampak Papa dan Kak Ryan, sama-sama mengenakan tuxedo hitam. Om Nick, yang juga mengenakan tuxedo berwarna hitam, duduk bersama istrinya yang mengenakan gaun cantik berwarna merah muda. Kemudian Leon―jantungku berdesir―duduk di sebelah ibunya, mengenakan tuxedo yang―sama seperti yang lain―berwarna hitam. Semuanya menoleh ke arahku ketika aku datang, kecuali Leon, yang sedang menatap meja makan kosong di depannya dengan nanar.
Aku merasakan cabikan baru di hatiku melihat Leon mengabaikanku, namun memotivasi diriku untuk tegar. Aku kan ke sini untuk berpisah dengannya!
Aku pun berjalan dengan anggun sampai mencapai kursi sebelah Kak Ryan, lalu duduk dengan sopan.