♫I have butterflies flying around inside my tummy
when I'm with you
I hear bell chimes ringing blown by wind of spring
when I'm with you♫
(Butterflies in My Tummy - Mocca)
Untuk kesekian kalinya, Yindi memandangi charm bracelet silver yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Pantulan sinar matahari mempercantik lekuk perhiasan tersebut, memperjelas beberapa titik berlian yang berkilau dengan semburat warna pelangi.
“Suka gak sama kadonya?” tanya Galih seraya tetap memfokuskan pandangan pada jalan di hadapannya. Pemuda itu melirik spion, kemudian mengarahkan CRV abu-abu metalik yang dia kendarai untuk berpindah ke baris antrean pintu tol yang terlihat lebih pendek.
Yindi tersenyum simpul di samping Galih. “Banget. Makasih, ya.”
“You’re welcome,” balas Galih kalem. Ditautkannya jemarinya dengan milik Yindi. Pria itu sengaja hanya menggunakan satu tangannya yang lain untuk memindahkan gigi persneling dan mengendalikan setir. Jantung Yindi berpacu sedikit lebih cepat. Gadis itu salah tingkah, tapi dia sama sekali tak berniat untuk mengakhiri genggaman tangan mereka.
Diam-diam, Yindi meneliti paras pria yang duduk di sampingnya. Hidungnya mancung, kulitnya putih, rahangnya selalu bersih tercukur—hanya menyisakan sedikit area abu-abu samar yang membuatnya terlihat maskulin. Dengan tubuh yang tinggi dan dada bidang, penampilan pria itu hampir tak ada cela, bahkan sifatnya pun begitu lembut dan pengertian. Tapi, yang paling membuat Yindi tergila-gila adalah perhatian seorang Galih. Seperti pagi ini, Yindi begitu bahagia saat menemukan Galih berdiri di luar pagar rumahnya dengan membawa sekotak cupcake coklat yang dihiasi lilin ulang tahun. Kejutan tidak berakhir di situ, karena Galih segera memberikan kado gelang yang begitu indah dan sigap menawarkan diri untuk mengantar Yindi ke kantor.
Yindi menggerakkan aksesori barunya sekali lagi, menikmati gemerencing yang terdengar begitu merdu. Ada tiga bandul kecil yang tergantung di sana, masing-masing melambangkan mimpi seorang Yindi Anggraini; buku yang mengungkapkan kecintaan gadis itu akan dunia tulis-menulis, es krim kesukaannya, dan bentuk pulau New Zealand sebagai negara yang selalu ingin dikunjunginya. Yindi memang pernah bercerita tentang mimpi-mimpinya, tapi gadis itu tak menyangka bahwa Galih akan mengingat semuanya dengan baik.
Galih menekan sebuah tombol pada dasbor mobil. Sebentar kemudian, intro musik pop jazz milik Maliq and D’Essentials mengalun diiringi suara Angga si vokalis yang mulai menyanyikan bait awal dari lagu berjudul Dia. Galih mengetuk-ngetukkan jari pada setir, kepalanya mengangguk-angguk sesuai irama.
♫Temukan apa arti di balik cerita. Hati ini terasa berbunga-bunga
Membuat seakan—aku melayang. Terbuai asmara♫
Sambil tetap menikmati entakan nada, Galih menghentikan mobil tepat di sisi loket penjaga tol dan membuka kaca jendela. Seorang wanita berseragam biru menyapa mereka, ekspresi maklum tergambar di wajahnya saat melihat tangan Galih dan Yindi yang saling menggenggam.
Yindi tersipu. Dia menikmati setiap detik yang dilewatinya saat ini. Lalu lintas yang begitu padat masih akan memperpanjang waktu tempuh mereka sampai ke tujuan, namun Yindi tahu bahwa kebersamaan mereka akan terasa begitu singkat—membuat gadis itu berharap alam memberikan tambahan menit—bahkan detik—untuk bisa bersama lebih lama dengan Galih.
Ah, Galih... apa sih kurangnya kamu? batin Yindi sambil menghela napas perlahan.
“Ndi, aku nyesel, deh...,” tutur Galih memelas seraya menambah kecepatan dalam jalur bebas hambatan.
“Kenapa?”
“Aku harusnya minta nomor telfon mbak yang jaga pintu tol tadi.”
Yindi menaikkan kedua alisnya, sedikit terkejut dengan apa yang baru saja diucapkan Galih. Sebuah perasaan tidak senang menghinggapi dirinya. Baru saja dia menyanjung-nyanjung Galih dalam hati dan sekarang pria itu mengatakan hal yang membuatnya sebal.
“Ngapain? Naksir?” tuduh Yindi dengan intonasi yang sebisa mungkin dibuatnya datar.
“Enggak. Tadi aku liat nama mbaknya Bintang, dia pasti alien. Aku tinggal jual info ini ke stasiun televisi dan aku bisa dapet duit banyak!”
Raut sinis di wajah Yindi luntur, tergantikan oleh ekspresi sayang yang tumpah ruah untuk seorang pria yang terlihat sangat bangga dengan leluconnya barusan.
Yindi mencintai semua tentang Galih, termasuk selera humornya yang unik. Biarlah orang lain berkata apa, hati Yindi tetap tertambat pada Galih.
Ping.
Ponsel milik Yindi berbunyi. Dengan satu tangan, Yindi merogoh hobo bag berwarna coklat tua miliknya, kemudian membuka aplikasi pesan berlogo telepon hijau.
Ternyata pesan dari sahabat sekaligus koleganya, Mita.
-----------------------------------------------------------------------
Mita :
Nyet, lo masih di jalan?
Gue nitip beli risol dong di belokan Senopati
-----------------------------------------------------------------------
Yindi memutar mata. Sahabatnya itu memang sangat menggemari kudapan-kudapan tidak sehat, salah satunya gorengan penuh minyak tersebut.
-----------------------------------------------------------------------
Yindi :
Ya ampun gak takut kanker?
Ngemil gorengan melulu lo...
Ada lagi yang bisa dibantu, Nyonyah?
-----------------------------------------------------------------------
Mita :
Biar, ah. Orang gue belon sarapan.
Oke, sekalian titip pesen sama Galih,
Bilang ke si kunyuk itu, sahabat gue si Yindi Anggraini mau digantungin sampe kapan?
-----------------------------------------------------------------------
Tanpa membaca lebih lanjut, Yindi langsung menekan tombol lock pada ponsel miliknya. Seketika, layar telepon genggam tersebut menjadi gelap.
Gadis itu berdecak pelan, sahabatnya yang usil telah mengacaukan suasana hatinya yang barusan bagaikan ditumbuhi bunga berbagai rupa.
Yindi melirik Galih dari sudut matanya, khawatir kalau-kalau pria itu turut membaca pesan dari Mita barusan, tapi Galih terlihat santai, memper hatikan jalan sambil bersenandung kecil mengikuti musik. Bahkan jari-jemari mereka masih bertaut. Yindi menggigit bibir, hatinya gundah. Perlahan, lagu Dia yang dinyanyikan Maliq and D’Essentials mulai memasuki bagian akhir.
♫Dia... seperti apa yang selalu kunantikan, aku inginkan
Dia... melihatku apa adanya, seakan ku sempurna♫
Galih memang sempurna baginya. Tapi, apa Galih juga berpikir sama tentang Yindi? Kurang pantaskah dia menjadi kekasih Galih, hingga pria itu tak kunjung meresmikan hubungan mereka?
***
Galih dan Yindi.
Ing-ga, Lin-di, Gan-dhi.
...Gandhi!
Yindi meneliti halaman Google pada browser. Dia mengetik kata kunci “arti nama gandhi” lalu menekan tombol enter. Sedetik kemudian, hasil pencarian muncul di layar monitor. Dipilihnya salah satu tautan yang menuju pada website yang khusus menyediakan katalog nama bayi.
Nama : Gandhi
Arti : Matahari
Asal : India (Sansekerta)
Gadis itu tersenyum. Pikirannya melambung dalam khayal. Asyik membayangkan jika suatu hari nanti dirinya dan Galih dikaruniai putra bernama Gandhi.
Gandhi Permana. Anak dari Galih Permana dan Yindi Anggraini.
Pipinya memanas. Sebuah sensasi yang tidak bisa dijelaskan berkembang di dalam lambungnya, merambat naik ke atas, membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
"Hamil lo, Nyet?"
Panik, Yindi segera mengarahkan mouse-nya untuk menutup browser pada layar.
Seorang gadis bertubuh tinggi semampai duduk pada kursi kubikel di samping Yindi. Kaki-kakinya yang panjang saling bersilang anggun, kedua tangan gadis itu terlipat di dada, wajahnya menunjukkan ekspresi geli. "Namanya bagus kok...," komentarnya dengan nada usil.
Yindi mencibir. Mita memang suka sekali memergoki dia di saat yang tidak tepat. "Gak usah dibahas...,” balasnya malas.
"Ndi..., Ndi..., bilangnya sih biasa aja, tapi diem-diem cari nama anak. Jadian aja dulu...."