♫Because I'm easy come, easy go,
Little high, little low,
Any way the wind blows doesn't really matter to me, to me♫
(Bohemian Rhapsody – Queen)
“Julien Kim?” Yindi memegang erat naskah yang sedari tadi berada dalam genggamannya, tanpa sadar bersikap waspada.
“Siapa?" tanya pria kurus itu dengan raut bingung. Wajahnya menunduk untuk menatap Yindi.
Aroma menthol yang pekat dari napas pria itu menggelitik indera penciuman Yindi. "Kalau begitu... anda yang bernama Naren?"
Pria berwajah tirus itu memandang Yindi dengan tatapan menyelidik, seakan-akan berusaha mengingat siapa perempuan yang berdiri di hadapannya.
"Benar, saya Naren. Ada urusan apa, ya?" tanyanya sambil melipat kedua tangan dan menyandarkan sebelah tubuhnya pada salah satu sisi kusen pintu. Di belakangnya terlihat sebuah rak berisi buku-buku tebal yang disusun dengan rapi. Berpadu kontras dengan botol alkohol kosong dan kaleng-kaleng minuman yang berserakan di sekeliling dasar rak.
"Saya dari Lovebirds Publishing. Beberapa bulan yang lalu ada penulis yang mengirim naskah dan mencantumkan alamat ini. Kami sudah coba menghubungi, tapi tidak ada respons.…”
Salah satu alis Naren terangkat, seakan-akan perempuan di hadapannya baru saja menanyakan hal paling konyol sedunia. "Naskah?”
"Iya, naskah fiksi, novel."
"Gak salah kamar? Salah rumah?"
"Alamatnya sudah benar. Namanya Julien Kim."
Raut wajah pria jangkung itu berubah dari heran menjadi geli, "Saya kos sendiri dan saya gak kenal dengan orang yang kamu cari itu."
“Kemungkinan ini hanya nama pena….” Yindi menyodorkan naskah Julien Kim, yang langsung disambut oleh pria berwajah tirus itu.
Sejenak Naren membolak-balik naskah, kemudian menggelengkan kepala. Yindi meneruskan kalimatnya, “Mungkin dia pernah tinggal disini? Naskah ini sampai ke kantor kami kurang lebih setengah tahun yang lalu.”
“Saya tinggal disini lebih lama dari itu, dan saya juga gak kenal nomor telfon dan e-mail-nya. Sori, gak bisa bantu." Naren menutup naskah dan mengembalikannya pada Yindi.
Yindi menggigit bibir. Julien Kim, penulis yang diinginkan Ibu Inge, menghilang tanpa jejak. "Bener-bener gak tahu?"
Pria yang bertelanjang dada itu hanya mengedikkan kedua bahunya dengan santai. Tidak terlihat merasa terganggu karena berulang kali harus menjawab pertanyaan yang sama.
“Kalau begitu saya akan meninggalkan nomor yang bisa dihubungi. Boleh minta tolong untuk segera memberitahu saya kalau ada info baru soal ini?” pinta Yindi seraya menyerahkan kartu namanya pada Naren.
“Oke... Yin-di." Pria tersebut tersenyum, menekankan nama Yindi di akhir kalimatnya. Yindi tersenyum masam, mungkin namanya dianggap aneh, bukan kali pertama orang lain berpendapat begitu. Tanpa sadar, Yindi mencuri pandang sekali lagi ke arah tato bintang-bintang di dada kiri Naren.
Pria itu berdeham, menyadari Yindi yang sedari tadi meneliti bagian tubuhnya. “Ada lagi yang bisa gue bantu?” tanyanya dengan nada jail.
“Eh? Oh, udah kok, terima kasih, kalau begitu saya permisi dulu....” Yindi menganggukkan kepala tanda berpamitan.