My Love G - Book #1

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #3

Question?

♫Adakah ku singgah di hatimu?

Mungkinkah kau rindukan adaku?♫

(Untitled – Maliq and D’Essentials)

 Tawa Mita pecah setelah mendengar cerita Yindi tentang ‘pertunjukan’ yang dilihatnya tadi malam. Awalnya, Yindi hanya bermaksud untuk memberi update soal Galih dan tentang Julien Kim yang tidak berhasil ditemukan, tapi dia tak kuasa menahan diri untuk berbagi fakta pada Mita bahwa tetangganya melakukan perbuatan tak senonoh.

“Salah lo sendiri pake ngintipin orang cipokan!” Lagi-lagi Mita mengumbar aib Yindi dengan suara semi speaker-nya, menyebabkan sebagian besar pengunjung melirik ke arah mereka dengan ekspresi ingin tahu.

Kedai chinese food di tengah hiruk pikuk Pasar Mayestik ini adalah lokasi makan siang favorit Yindi dan Mita. Seperti biasa, mereka duduk di dekat pintu masuk, guna mendapatkan sedikit akses udara segar di restoran yang pengap karena asap masakan. Aroma kecap ikan yang tajam tercium dari dapur di ujung ruangan, dilatari suara spatula yang beradu dengan kuali. Tidak ada meja yang kosong, beberapa pengunjung bahkan rela mengantre demi mengisi perut di siang yang terik ini.

“Bagus ya, Dedemit! Permalukan aja, gue. Besok-besok gak akan gue traktir lagi.” Yindi mengacungkan garpunya ke arah Mita, memberikan tatapan mengancam.

Mita menyeruput es jeruk, tak peduli dengan ultimatum Yindi. Gadis berambut ikal itu kembali menekuni piring berisi kwetiauw siram ayam miliknya, menikmati setiap suap makanan gratis dengan wajah penuh kemenangan. Sungguh Yindi menyesal karena telah menyia-nyiakan sebagian gajinya demi Mita, apalagi kemarin si cewek pelupa itu salah mengingat tanggal ulang tahunnya.

“Jadi acara kemaren batal dan jadinya pergi malam ini sama Galih?” tanya Mita lagi.

Yindi hanya mengangguk, mulutnya sibuk mengunyah nasi ayam lada hitam pesanannya.

“Terus nanti malem bakal makan shabu-shabu lagi?” Mita memberikan ekspresi iba.

Yindi memberi sahabatnya tatapan penuh arti. Gadis itu sengaja memberi cukup waktu untuk menelan makanan yang baru saja dikunyahnya. “Galih bilang dia mau bawa gue ke Resoluté.”

Kedua ujung bibir Mita tertarik ke atas. Yindi baru saja menyebut nama sebuah kafe hits di jantung Senayan. Mita segera menepuk-nepuk pundak Yindi dengan penuh semangat. “Selamat ya...!” reaksinya berlebihan.

“Selamat karena gak usah bersaing sama udang rebus?”

“Karena akhirnya Galih pilih tempat yang romantis! Outdoor! Lilin! Bunga! Air mancur!” Dengan berapi-api, Mita menggambarkan keindahan Resoluté Café dalam ingatannya.

Yindi menempelkan jari telunjuk pada bibir, mengisyaratkan Mita untuk menurunkan volume suara karena beberapa pengunjung mulai terlihat kurang nyaman.

Setelah berhasil menenangkan diri, Mita melanjutkan kata-katanya, Bisa aja malem ini lo ditembak.”

Yindi mencibir, “Apa sih, Mit..., makan malem doang, kok. Lagian, ini bukan pertama kalinya gue dan Galih makan disana kali... lebay lo, ah!”

Mita menggeleng kuat-kuat. “Ndi, lo boleh nunggu Galih nembak lo sampe rambut lo beruban...,” gadis bermata tajam itu memberikan jeda pada kalimatnya, “...atau lo bisa minta kepastian dari dia, malam ini juga.”

***

Seorang pelayan berseragam hitam dengan dasi kupu-kupu hijau mengantarkan dua porsi dessert. Sorbet mangga-persik untuk Yindi dan sepotong cake coklat karamel untuk Galih. Sampai detik ini, tidak ada pembicaraan soal kejelasan hubungan di antara mereka.

Sedari tadi, Yindi tidak bisa berkonsentrasi. Mulut dan pikirannya bertindak sendiri-sendiri. Gadis itu berusaha mencari momen yang tepat, tapi sepertinya dia lupa membawa keberanian—elemen paling penting pada acaranya dengan Galih malam ini.

Gemercik air terdengar tidak jauh dari tempat mereka duduk. Pohon beringin besar menaungi air mancur khas Brooklyn Musem of Art yang terletak lebih rendah di sebuah ceruk berbentuk kawah persegi. Kursi dan meja ditempatkan secara acak, di bawah pendar lentera-lentera mini yang digantungkan pada dahan. Angin berembus dari celah bangunan-bangunan tinggi yang mengapit tempat tersebut—menjadikannya oase di tengah Jakarta yang semakin memanas. Di sisi kanan, alunan musik swing jazz dan hiruk pikuk pengunjung menyeruak dari jendela-jendela yang terbuka lebar, memperlihatkan sisi Resoluté yang lebih modern—lengkap dengan bar dan kursi-kursi berbusa yang merapat ke dinding.

Jujur, Yindi lebih suka duduk dalam ruangan. Suasana di sekelilingnya memang indah, tapi area ini seperti dunia lain, dimana setiap malam adalah malam minggu. Tangan yang saling menggenggam, mata yang memandang mesra, pancaran sinar temaram kekuningan yang memantul pada wajah-wajah yang merona. Meja-meja di sekeliling Yindi dipenuhi oleh pasangan yang terbakar api asmara. Semua orang seakan ingin membuktikan cinta mereka di bawah pohon paling romantis di Jakarta.

Tapi tidak dengan Yindi. Menunya malam ini adalah ragu, dibungkus penasaran, dilengkapi saus bernama takut kehilangan. Lidahnya terasa kelu. Jangankan sorbet, saat ini otaknya hanya bisa memproses satu hal—statusnya dengan Galih.

Gadis bermata sayu itu meneliti pria di hadapannya. Seperti biasa, Galih terlihat segar. Wajahnya licin mulus tanpa bulu-bulu halus di dagu maupun pipi, rambutnya dipangkas rapi dengan sentuhan spike yang terlihat alami. Kemeja hijau muda dengan motif garis vertikal yang dia kenakan sangat pantas untuknya. Lengan bajunya dibiarkan terlipat sampai siku, memperlihatkan kontur otot yang kokoh hasil berlatih rutin di gym. Galih masih sama seperti waktu SMA dulu, mempesona dengan tampilan maskulin sekaligus lembut yang dimilikinya.

“Ndi? Yindi?”

Yindi tersadarkan oleh tangan Galih yang melambai tepat di depan hidungnya. Rupanya gadis itu terlalu lama asyik dengan dunianya sendiri.

“Kok bengong? Sakit ya?” tanya Galih dengan suara beratnya yang khas. Mendadak perut Yindi terasa seperti digelitiki dari dalam.

“Eh, eng-enggak kok,” jawab Yindi terbata.

“Bener?”

 “Gak apa-apa, Lih. I’m fine.” Gadis itu meraih gelas mocktail miliknya, menenangkan diri dengan cairan manis beraroma buah-buahan tropis.

Galih memberikan ekspresi sangsi, kedua matanya memperhatikan Yindi dengan pandangan penuh selidik. Yindi mengutuk dalam hati, gara-gara Galih, sekarang bukan hanya pipinya yang memanas, jantungnya pun ikut bergejolak.

Lihat selengkapnya