♫You are nobody until somebody loves you
You’re nobody til’ somebody care♫
(You’re Nobody Til’ Somebody Loves You – Michael Bublé)
--------------------------------------
Namöbi adalah negeri yang cantik. Kotanya tidaklah dihimpit lembah, bukan berada di sepanjang aliran sungai yang mengalir, tidak juga membangun kehidupan di dataran berbukit. Tidak—Namöbi adalah surga penambang, tak berdiri tegap di atas permukaan tanah, tapi menggali masuk, jauh, jauh ke inti bumi.
Aira sudah kehabisan kata-kata sejak pertama kali menginjakkan kaki di gerbang kota ini. Kakinya bergetar saat melewati jembatan tali yang melintang tepat di atas Namöbi, jantungnya berdetak cepat saat menyusuri sisi dinding Namöbi yang berbentuk ceruk mengulir—tanpa pembatas yang bisa melindunginya dari kemungkinan jatuh bebas ke pusat kota. Aira jelas ngeri dengan kemegahan Namöbi yang bermain dengan bahaya, tapi semua ketakutannya terkalahkan oleh rasa kagum yang membuncah-ruah.
Malam di Namöbi datang lebih dini. Alpanya cahaya merupakan pertanda bagi rakyat Namöbi untuk mulai beralih pada sumber penerangan selain matahari. Titik-titik sinar mulai bermunculan dari pusat Namöbi yang terdalam, merambat naik sampai ke tempat Aira berdiri. Pendarnya berwarna-warni. Bukanlah api, tapi datang dari ganggang dan jenis moluska yang mengeluarkan cahaya, sengaja dibiakkan dan diperangkap dalam wadah-wadah kaca yang tersebar di setiap sudut kota.
Seperti berada di antara dua bimasakti, batin Aira. Beberapa jam lagi, keindahan kota Namöbi akan sama persis dengan eloknya langit malam jernih berbintang di atas kepalanya.
--------------------------------------
Salah satu ujung bibir Yindi tertarik ke atas. Dia menyukai segala jenis buku, tapi baginya tak ada yang lebih memuaskan imajinasi selain genre fantasi. Itulah mengapa, saat seorang penulis mengirimkan naskah berjudul Namöbi, Yindi tak bisa menahan diri untuk membacanya lebih jauh dari sekadar sinopsis.
Sayang, Lovebirds Publishing sedang berfokus pada naskah-naskah yang bercerita tentang keseharian—terutama cinta. Bukan karena penerbitan ini hanya berisi orang-orang yang romantis, tapi karena itulah genre novel yang banyak digemari.
Padahal, Yindi selalu beranggapan bahwa genre fantasi adalah jenis cerita yang tak lekang dimakan waktu. Seorang penulis bisa berkisah tentang kisah cinta masa kini, dan 50 tahun kemudian semua yang diceritakan akan penuh berisi nostalgia. Penulis lainnya bisa mengajak pembaca membayangkan masa depan, mengungkap ide penemuan yang belum direalisasikan, lalu waktu berjalan, teori dan imajinasinya kala itu akan dibuktikan sesuai dengan latar waktu yang dia tentukan dulu : Apakah benar di tahun 2035 mobil tidak lagi menapak di tanah, tapi melayang dengan mengandalkan medan magnet? Apa benar di tahun 3356 makhluk hidup tidak lagi bisa berkembang biak?
Keutuhan dan pendalaman cerita akan berkompromi seiring dengan kemajuan zaman dan kemampuan berpikir manusia. Namun fantasi adalah dunia yang tak tersentuh oleh akal dan kemungkinan besar tak tercapai oleh sains. Seperti benda berharga yang disimpan dalam kotak kaca—waktu berhenti di sana, menjadikannya karya yang tetap mempesona baik hari ini, atau puluhan bahkan ratusan tahun kemudian. Memang, tidak menutup peluang bahwa semua yang tadinya hanyalah imajinasi akan menjadi nyata suatu hari nanti, tapi kalaupun itu terjadi, seringkali hanya akan menambah kepopuleran novel tersebut.
Yindi menutup dokumen pada layar komputernya, kemudian membalas e-mail dari penulis tersebut dengan kata-kata paling sopan dan diplomatis. Untuk sementara, dia akan berkonsentrasi pada kisah yang bisa ditemui sehari-hari di masa ini, seperti cinta bertepuk sebelah tangan berlatar sekolah, hubungan tanpa status yang berujung bahagia, atau mengetahui bahwa tetanggamu adalah penyuka sesama jenis.
Yindi mengernyitkan wajah, teringat dengan kejadian yang mengganggu benaknya selama beberapa hari ini. Dia benar-benar geram dengan fakta bahwa Naren sengaja menunjukkan adegan tak senonoh itu padanya. Gadis itu seakan-akan bisa melihat raut jail pria itu yang khas, meledek Yindi yang sudah seenaknya berasumsi.
Memori tentang Naren membuat Yindi semakin kehilangan minat untuk membaca. Dia butuh bermain-main barang sedikit, tanpa ketahuan atasannya. Biasanya dia akan bergosip diam-diam dengan Mita, tapi kubikel sebelah Yindi sedang kosong tanpa penghuni. Pemiliknya baru saja mengambil izin, langsung berangkat menuju Medan dengan penerbangan paling pagi. Kakek Mita mengalami serangan jantung dini hari sebelumnya dan meninggal sebelum mendapatkan pertolongan. Yindi merasa sedikit trenyuh, sahabatnya itu pasti sangat terpukul. Seingatnya, Mita selalu bercerita tentang masa kecilnya yang indah bersama kakek yang paling disayanginya tersebut.
Sejak ibunya berpulang, Yindi semakin merasa takut akan kehilangan. Saat ini dia tak bisa membayangkan jika dia harus menghadapi kehampaan untuk kesekian kalinya. Mungkin suatu hari dia harus merelakan Mita, atau menyaksikan Galih mengembuskan napas terakhir, begitu juga dengan sahabat dan koleganya yang lain, tapi dia sungguh berharap bahwa dia tak perlu mengalami itu semua. Permintaannya akan terdengar begitu egois, tapi dia merasa lebih baik kalau dialah yang pergi lebih dulu.
Sebuah panggilan masuk ke ponsel Yindi. Untunglah dia sudah menyetel nada handphone-nya menjadi getar, sehingga dia tak perlu mendapatkan tatapan sinis dari kepala editornya lagi. Gadis itu buru-buru melihat nama penelepon pada layar. Galih. Seketika, suasana hatinya menjadi berbunga-bunga.
***
"Kamu mau makan apa?”
“Apa lagi? Shabu-shabu, kan?” Yindi menyeringai geli mendengar pertanyaan Galih. Jelas-jelas mereka sedang berada di restoran Jepang langganan Galih, sebuah kompor kecil beserta panci berisi kaldu sudah diletakkan di hadapan mereka, apa lagi yang butuh dipastikan?
“Iya, sih. Tapi maksud aku, mau yang lain lagi, gak? Sushi? Udon? Takoyaki?” tawar Galih sambil menunjuk beberapa gambar dalam buku menu yang terlihat begitu menggiurkan.
Yindi menggeleng manja. Meskipun dia dan Galih sudah berkali-kali makan siang bersama di tempat ini, Yindi tak pernah merasa bosan. Perasaannya tetap seperti saat gadis itu pertama kali melihat Galih di koridor SMA mereka bertahun-tahun yang lalu. Pipi yang memanas dan perut yang terasa geli. Semua sensasi perasaan itu begitu menyenangkan, membuatnya tak bisa menahan senyum.
Galih memanggil seorang pelayan perempuan yang menggunakan yukata bermotif sakura merah tua. Pria itu menyebutkan beberapa pesanan tambahan, tak lupa menukar nasi putih dengan brown rice.
“Jadi Mita lagi di Medan?” tanya Galih, kembali membuka topik.
“Iya. Aku kepengen tanya kabarnya, tapi... takut ganggu.” Yindi mengungkapkan kekhawatirannya, tapi Galih terlihat tidak memperhatikan, pria itu sibuk membalas pesan pada ponselnya yang diposisikan di bawah meja.
“Ooh... terus?” respons pria itu terburu-buru, mengunci tatapan matanya pada Yindi sesaat, lalu kembali mengalihkan fokus pada handphone miliknya.
“Ya... dia kan pasti lagi sibuk ngurusin pemakaman kakeknya, jadi aku gak mau ngerecokin.”
Galih menggigit bibir, perhatiannya kembali terpecah antara Yindi dan alat komunikasi yang dia genggam erat.
“Siapa sih, Lih? Dari klinik?” tanya Yindi penasaran, tanpa bernada kesal sama sekali.
“Eh? Oh-oh, enggak. Ini dari temen kuliah.”
“Kenapa?”
“Biasa, sharing jadwal seminar,” jawab Galih sambil menaikkan kedua ujung bibirnya, kemudian pria itu menyimpan ponselnya ke dalam saku celana—bertekad untuk tidak mengacuhkan lagi nada getar yang menggelitiknya sepanjang acara makan bersama Yindi nanti.
"Ngomong-ngomong, Mama titip salam." Galih membuka topik pembicaraan baru guna mengalihkan perhatian Yindi.
"Emang kamu cerita soal aku?"
"Iya, dong."
"Cerita apa aja?"
"Yang bagus-bagus, kok...," jawab Galih kalem seraya menampilkan senyuman kecil.
"Emang ada cerita jeleknya?" tanya Yindi dengan mata menyipit, berpura-pura curiga. Mereka tergelak bersama sebelum Galih meneruskan kalimatnya.
"Mama undang kamu makan malem di rumah."
"Oh... uhm...." Tenggorokan Yindi tercekat, dia kehilangan kata-kata, semua ini terlalu tiba-tiba.
"Jangan takut dulu. Aku ngerti, kok. Lagian Mama bilang 'kapan-kapan', means, kita gak usah buru-buru...," ucap Galih menenangkan. Sebelah tangan pria itu menggenggam tangan Yindi dengan lembut.
Yindi melepas napas yang barusan sempat tertahan. Bukannya dia tidak ingin mengenal keluarga Galih, hanya saja dia belum siap untuk bertemu dengan orangtua kekasihnya itu. Dia tak tahu harus bersikap seperti apa, semua ini hal yang baru untuknya. Dia hanya pernah berpacaran tiga kali semasa sekolah dan kuliah, itu pun tidak serius, hanya hitungan bulan, tak pernah ada kesempatan untuk mengenal keluarga dari kekasihnya lebih dalam. Galih adalah pria pertama yang membuatnya benar-benar jatuh cinta, tapi mungkin dia butuh waktu ekstra mempersiapkan diri untuk berjalan ke jenjang yang lebih serius.