My Love G - Book #1

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #11

Denial

♫When you're dreaming with a broken heart

The waking up is the hardest part♫

 (Dreaming With a Broken Heart - John Mayer)

 

Dua payung. Satu charger. Power bank. Sandal yang dibungkus dalam plastik....

Yindi memeriksa semuanya untuk kedua kali. Benaknya sibuk menyebut setiap nama benda di dalam tasnya, memastikan tidak ada barang yang tertinggal.

Mita menatap sahabatnya itu dengan raut khawatir. Gadis bertubuh semampai itu berdiri di sebelah Yindi yang sedang berkonsentrasi penuh. Kedua tangannya saling melipat di bawah dada, tas miliknya tergantung di bahu. Matahari sudah terbenam sejak satu jam yang lalu, dan ruangan kantor mereka terlihat lenggang. Hanya tinggal Yindi, Mita, seorang office boy, dan satu kolega pria yang asyik tertawa di depan laptop yang menyala. Hari ini Jumat sore, awal weekend baru saja dimulai. Itulah sebabnya sebagian besar penghuni kantor sudah bergegas pulang sejak tadi.

...vitamin. Obat sakit kepala. Obat demam. Minyak gosok. Balsem. Pembalut....

Yindi membuka wadah obat dan keperluan pribadi, dikeluarkannya setiap benda satu-persatu dan dirapikannya kembali. Mita mendesah, hatinya tidak tega melihat Yindi seperti ini.

“Ndi, ngapain sih pake dicek lagi? Lo kan cukup inget aja apa yang lo pake seharian ini. Gak mungkin kan barang-barang di tas lo jalan sendiri?”

“Gue gak tenang, Mit. Gue mesti cek, takutnya nanti di jalan ada apa-apa.”

“Emang bakal ada apaan? Lo kan pulangnya bareng gue? Gue udah bilang mau anter lo.”

Yindi tidak merespons, tetap sibuk dengan perlengkapan darurat yang berserakan di atas meja kerjanya.

“Ndi? Lo denger gak sih?” Mita menumpukan salah satu tangannya di sudut meja Yindi, nada suaranya mulai terdengar kesal.

Yindi menarik napas, lalu menjawab tanpa menatap sahabatnya, “Lo gak perlu anter gue pulang, Mit. Lo duluan aja,” tolaknya lembut.

Mita mengalihkan pandangannya sejenak ke arah lain, mendengus frustrasi. Hampir seminggu berlalu sejak kejadian di gedung parkir itu, dan Yindi terus-terusan bersikap seperti ini; menghindar, menyibukkan diri, sama sekali tidak membahas soal Galih dan selalu menolak niat baik orang lain—terutama Mita, Jujun, dan Naren. Mita tahu bahwa Yindi rapuh, sebesar apa pun usaha gadis itu untuk mandiri, Mita tahu bahwa Yindi justru membutuhkan banyak perlindungan. Itulah yang sedang Mita coba lakukan, tapi cewek di hadapannya ini benar-benar telah menghabiskan jatah kesabaran.

“Ini soal Galih, kan?” tanya Mita tajam, dia tidak peduli semua orang mendengar mereka, dia hanya ingin Yindi berhenti menipu diri dan jujur dengan perasaannya sendiri.

Yindi tidak menjawab, masih sibuk merapikan lipatan kaplet obat dan memeriksa tanggal kedaluwarsa pada setiap kemasan.

“Ada apa sih? Ndi, gue udah pastiin satpam kantor dan Ibu Indah gak memperbolehkan Galih menemui lo. Bukan lo yang ngomong ke mereka, gue. Gue yang bilang ke Galih untuk kasih lo waktu. Gue yang monitor apa lo masih hidup atau udah mati. Gue. Kenapa? Karena gue sahabat lo. Gue care sama lo. Sekarang lo usir gue jauh-jauh juga?!” Suara Mita bergetar karena amarah. Kolega mereka mulai mencuri-curi pandang, sementara si office boy sudah melongok dari pantri.

Kedua tangan Yindi terkulai lemas di atas meja, ekspresi wajahnya tetap dingin.

“Gue gak paham deh sama cara pikir lo itu. Shit happens, Ndi. Kita move on. Jangan kayak gini. Gue gak tega ngeliat lo meriksain barang satu-satu setiap hari, pas baru sampe kantor, sebelum pulang. Yakin banget lo kalau ada apa-apa pasti bisa handle? Lo pikir lo masih sempet ngobatin diri sendiri kalau lo ketabrak di jalan, hah?!" Mita berkata dengan volume yang tidak ditahan-tahan lagi, sebelah tangannya bertumpu pada pinggang, sementara yang satunya bergerak-gerak mengungkapkan rasa kesalnya.

"Manusia itu butuh orang lain. Gak usah sok jago sendirian, lah! Kalau marah ya marah, sedih ya sedih, jangan bikin orang bingung!” Mita melempar tas ke atas meja kerja miliknya, menyebabkan jatuhnya beberapa jilid naskah ke lantai, tapi gadis itu tak peduli. Dia mendudukkan diri pada kursi miliknya, memandang Yindi dengan nanar, menunggu reaksi gadis itu.

Sesaat suasana hening, lalu Yindi bergumam mengeluarkan suara, “...lo gak ngerti....”

“Apa?!” tanya Mita ketus.

Yindi memasukkan semua barang-barang miliknya ke dalam tas, lalu berdiri. Tubuhnya gemetar, tangannya mengepal, matanya yang merah menatap tajam ke arah Mita.

“Tahu apa lo soal apa yang gue rasa? Kenapa lo mesti atur-atur gue untuk move on? Lo tuh gak ngerti apa-apa! Lo bisa dengan mudah bergantung sama orang lain karena lo gak pernah ngerasain yang namanya ditolak mentah-mentah saat lo butuh bantuan. Bokap lo ada, nyokap lo ada, kakak lo ada, semua siap ngelindungin lo, semua anggap lo penting karena mereka keluarga lo. Tapi gue? Gue mesti cari keluarga gue sendiri, Mit!”

Mita menaikkan kedua alisnya, berusaha mencerna kata-kata Yindi.

“Gue mesti ngemis kasih sayang dari orang lain! Lo tanya kenapa gue gak bisa move on soal Galih? Karena gak banyak orang yang mau care sama gue, gak kayak lo yang selalu dikerubutin fans setia lo itu. Dan saat ada, saat gue dikasih satu aja orang yang bisa buat gue bahagia, gue harus jaga orang itu baik-baik, dan tanpa sadar gue berharap banyak, kenapa? KARENA GUE GAK PUNYA BANYAK PILIHAN!”

Tubuh Yindi terus berguncang menahan amarah. Kolega pria teman kerja Yindi dan Mita sudah menghampiri mereka dengan maksud untuk melerai, begitu juga office boy yang sebelumnya hanya berani mengintip dari pantri. Namun dengan isyarat tangannya, Mita melarang kedua pria tersebut untuk ikut campur, dia sengaja membiarkan Yindi mengeluarkan perasaannya.

“Jangan lo atur-atur gue soal kapan gue boleh marah, kapan gue boleh sedih, kapan gue harus move on. Kalau gue mau mati pun, itu hak gue. Lo sama sekali gak berhak ngatur gue.”

Yindi berjalan pergi, meninggalkan Mita dan dua pria yang sama-sama terlihat panik. Mita hanya terdiam, tetap duduk di kursinya, tidak mengejar sahabatnya itu.

“Gue harap kejadian tadi gak bocor kemana-mana, ya...” ucapnya tajam pada si kolega pria dan office boy. Kedua pria itu mengangguk segan. Mita mengambil napas berat, dia benar-benar khawatir dengan kondisi sahabatnya.

***

Angin malam menerpa, membekukan setiap saraf pada tubuh Yindi. Gadis itu berjalan terseok-seok, kedua tangannya menggenggam erat tali hobo bag yang terkalung pada pundak kanannya. Entah sudah berapa lama Yindi berputar-putar tanpa tujuan, pasrah mengikuti rute Busway. Sepanjang perjalanan, gadis itu hanya duduk dan memandang sudut-sudut ibukota dengan pikiran kosong.

Saat ini dia sudah berada di jalan rumahnya, langkahnya lemas, lehernya terasa kaku. Diambilnya ponsel miliknya dari dalam tas untuk mengecek waktu, hanya untuk menemukan bahwa handphone-nya sudah lama tidak aktif karena kehabisan baterai. Dia harus segera pulang.

Pikirannya kembali kosong selama beberapa saat, tidak menyadari kemana kedua kakinya mengarah. Adegan demi adegan berkelebat di matanya; pagar kayu, seorang bapak tua bertubuh tambun, tangga, kamar dengan jendela bertirai biru motif bunga, angka sembilan.

Yindi menjulurkan tangannya, mengetuk pintu di hadapannya.

Seseorang membuka pintu ke arah dalam. Di sana berdiri seorang pria kurus tinggi dengan wajah tirus dan rambut gondrong yang dikuncir asal-asalan.

“Yindi?” Naren menyebut nama gadis itu dengan nada terkejut, dia membuka pintu kamarnya lebih lebar, mempersilakan Yindi masuk, tapi gadis itu bergeming.

Naren menunduk, menyejajarkan pandangan matanya dengan Yindi. “Yin?” Pria itu menyentuh sebelah lengan Yindi, mengguncangnya lembut.

“Gue gak pengen nangis, Ren...,” ujar Yindi lirih.

Naren mengernyitkan dahi, menyadari kedua mata Yindi yang mulai berkaca-kaca. Pria itu memperhatikan gadis itu lurus-lurus, sementara Yindi tetap menatap ujung kaki Naren.

“Gue gak pengen nangis, kalau gue nangis berarti ini beneran terjadi. Gue gak mau. Gue mau semua ini bohong....”

Kemudian tangis gadis itu pecah, awalnya hanya isakan perlahan, lalu berubah menjadi rintihan panjang yang menyayat hati. “Gue—gue gak mau Galih pergi...,” ucapnya terpatah-patah.

Naren tidak berkata apa-apa, dia hanya menarik tubuh gadis itu mendekat dan mendekapnya lembut.

***

Petikan gitar mengalun sendu, memperdengarkan irama pembuka dari lagu Love of My Life gubahan Queen. Grup musik yang sama dengan poster yang terpampang di salah satu dinding kamar Naren, terbingkai dalam frame kayu dengan lapisan kaca. Tidak ada lirik yang dinyanyikan, hanya perpaduan nada yang dimainkan dengan tempo yang berubah-ubah—kadang cepat, kadang lambat, tapi tetap terdengar indah. Naren memangku gitar, duduk bersila di atas tempat tidur miliknya, bersandar pada dinding yang dingin.

Tidak jauh dari pria itu, Yindi duduk pada sebuah kursi plastik putih yang sengaja dipindahkan Naren dari balkon. Kepala gadis itu tertunduk, sesekali tersengguk, masih berusaha untuk mengatur napas. Jari-jarinya memeluk sebuah mug kaca berisi cairan hangat yang menguarkan aroma teh.

Ini adalah teh kedua yang Naren buat untuk menenangkan dirinya.

Yindi teringat kebaikan Naren sewaktu rumahnya kebobolan pencuri. Belum apa-apa dia sudah merepotkan pria itu lagi.

Diam-diam, Yindi melirik Naren yang masih memainkan gitar. Mata pria itu terpejam, menikmati setiap petikan. Gadis itu ikut bernyanyi dalam hati.

♫Love of my life, you’ve hurt me

Lihat selengkapnya