MY LOVELY SALWA

Onet Adithia Rizlan
Chapter #1

ULAT NANGKA

Sebentar tadi adalah pagi yang riuh buatku, terbangun lebih awal dari biasanya memang seperti sebuah kelahiran prematur. Mata rasanya sepet dan susah untuk dibuka. Hanya ada satu cara untuk menormalkannya, kopi. Ya, secangkir kopi yang uap panasnya menguarkan aroma Robusta atau Arabica, atau Tora Sudiro? Eit! Tora itu sejenis kopi atau apa, sih? Masih sodaraan sama Torabika kali, ya? Ah, nggak penting! Lebih enak ngomongin Chelsea Islan, secara dia bening mirip porselin China. Hehe ... ngelantur gue. Ini mau cerita soal bangun kecepetan lalu mata sepet atau mau gosipin artis, sih?

Ya, udah. Baiknya aku turun, terus ke dapur dan bikin kopi. Mandi? Halah, mandi hari gini emang mau kemana? Ntar-ntar aja, deh! Baru saja kakiku menapak di undakan tangga mau turun ke lantai bawah, terdengar suara adik perempuanku, Ocha yang kukasih gelar "ulat nangka" saking centilnya. Bayangin, dia jalan dan bicara aja udah kayak penyanyi hip-hop. Gimana kalau teriak sambil lari cobak? Pasti lebih rame. Ya, udah. Aku maklumin aja. Dia kan masih SMP kelas dua, kelas delapan deh, biar kedengerannya lebih keren. Tahun depan pasti dia udah nggak kayak gitu lagi. Kali aja nggak seheboh penyanyi hip-hop, udah ke dangdut koplo mungkin. Wait! lebih parah dari ulat nangka, dong? Nggak jadi, deh. Kasian juga adik perempuan satu-satunya disamain kayak penyanyi dangdut koplo. Nggak ada yang lebih jaim lagi apa?

"Pa, bagi duit, dong?" suara ulat nangka terdengar mengiba. Tumben dia bisa drama begitu.

"Minta sama Mama sana, biasanya juga minta sama dia. Mama itu kan ATM-nya kamu?" suara papa terdengar sangat berwibawa. Menurutku sih, entah kalau mama.

Pelan-pelan aku menuruni undakan tangga supaya punya waktu buat nguping pembicaraan si ulat nangka dengan papa.

"Yaaa ... Papa? Kayak nggak tau aja. Kalau di ATM itu, kita pencet seratus ribu keluarnya juga seratus ribu. Di Mama, kita minta seratus dikasihya sepuluh!"

Bener juga ulat nangka, diam-diam aku mendukung penuh pernyataannya. Mama memang selalu melakukan tight money policy. Kebijakan uang ketat, alias berhemat. Hemat kan pangkal kaya? Kata siapa? Kata primbon. Hahaaa ... ya, pepatah-lah, kata siapa lagi?

"Iya, tapi kan sering juga kamu minta seratus malah dikasih lebih? Ayo, jangan bohong?" kali ini papa berusaha membela diri. 

"Iya, sih ..." sahut ulat nangka pelan. Nyaris tak terdengar kalau aku tidak buru-buru turun takut kehilangan momen penting dalam pembicaraan mereka yang nggak penting juga menurutku.

"Pagi, Pa. Pagi juga Ulat Nangkaaa ..." ujarku menggoda.

"Wah! Ini dia penulis buku primbon udah bangun, tumben?" Ocha balas dendam karena kusebut ulat nangka.

Papa terbodoh menatapku, seolah bertanya sejak kapan aku nulis buku primbon? Emangnya kami keturunan Jawa? Jangan cari masalah di negeri yang sensitif ini. Kalau bukan akar budayamu, jangan coba-coba "masuk" ke dapur mereka nanti kamu di-bully, bisa juga kena somasi dan paling parah masuk bui. Mau kamu begitu, nyusahin orang tua? Seolah-olah begitulah suara hati papa yang tertangkap oleh hati sanubariku.

"Jangan percaya omongan Ocha, Pa. Ulat nangka tau apa?" aku berusaha menenangkan papa.

"Kak, kalau jempol kaki kita gerak-gerak sendiri itu artinya apa, ya?"

Lihat selengkapnya