Hari kedua di Jogja, aku merasa ada yang semakin aneh di dalam hati. Kucoba menepis perasaan yang mengganggu itu. Namun sosok Monik semakin meraja, mencengkeram seluruh pikiran. Sekarang aku sudah jatuh hati pada Monik. Cewek keras hati yang menjadi pesaing selama ini.
Ya, Monik adalah penulis berbakat dan karyanya bagus-bagus--bahkan lima dari sepuluh novelnya sudah diangkat ke layar lebar--meski seringkali aku mengatakan kalau novel Monik masuk katagori populer bukan sastra. Itulah pemicu kenapa kami selalu berdebat soal status sebuah karya. Apakah itu masuk katagori pop atau sastra. Monik selalu menentang soal pengkotak-kotakan seperti itu. Baginya semua novel adalah karya sastra. Kalau menjadi best seller itu namanya populer, jika penjualannya seret, masih tetap disebut karya sastra, tapi nggak bisa dikatakan populer. Itu namanya, blangsak!
Kalau sudah begitu, aku cuma bisa terdiam. Aku tahu, itulah "peluru" Monik untuk menghabisiku ketika kami berdebat soal kedudukan sebuah novel. Tak peduli bahwa kami bernaung di bawah penerbitan yang sama. Monik dan aku selalu saja seperti guguk dan meong.
"Jangan sok nyastra, deh!" Monik mencibir. Ia menyibukkan diri, menyeduh kopi menggunakan coffee maker.
Sementara itu aku masih tercenung--duduk di kursi dapur kantor penerbitan--sambil memikirkan naskahku yang harus di-revisi. Sebentar lagi akan bertemu dengan editor karena hari ini tenggat waktu yang diberikan dan naskah itu tak sedikit pun kuubah. Aku kukuh tetap menggunakan bahasa baku meskipun risikonya kali ini adalah penolakan.
"Lo, tau nggak? Tiga novel elo yang kemaren-kemaren itu, makanya bisa lolos karena ceritanya kuat. Karena lo ngangkat lokalitas. Ya, katakanlah seperti kearifan lokal gitu. Nah, untuk naskah yang ini, cerita lo nggak kuat. Masa sih, cerita cinta-cintaan, remaja pulak, elo pakai bahasa baku. Ya, nggak laku, mamen!"
Monik meletakkan dua cangkir kopi di meja. Satu untuknya dan satu lagi ia angsurkan kedekatku.
"Itu kopi, lo. Gue baik kan sama elo?"
Aku menatap Monik. Cewek berkulit putih dan bermata sipit itu balas menatap dan aku nggak kuat berlama-lama membalas tatapan matanya.
"Dari mana kamu tau, soal semua naskah-naskahku itu?" tanyaku penasaran.
Monik tertawa. Bahunya sampai terguncang-guncang dan tangannya memukul-mukul meja.
"Mbak Ratih itu editor gue juga, Adiiit ... Ya, dialah yang bocorin. Masa sih, tukang ojek online yang ngasih tau ke gue. Wadidaw, deh!"
Tiba-tiba saja Dadang--office boy di kantor penerbitan--masuk ke dapur.
"Mas Adit dipanggil Ibu Ratih ke ruangannya. Tadi saya cari-cari sampai ke parkiran, eh nggak taunya ada di sini, beduaan lagi sama Mbak Monik."
"Iya, Dang. Dia nembak gue. Gimana, terima nggak, Kang Dadaaang?" ujar Monik menggoda.
Dadang tertawa. Gelak-gelak.
"Kalau udah cocok mah, dibawa kawin aja, Mbak Monik. Eta mah, ibadah atuh!"
Monik terbelalak. Ia tak menduga jawaban Dadang malah berbalik "memukulnya".