Tara menaruh barang-barangnya di lantai apartemen. Dia membuka reseleting tas besar yang dibawanya dan Matcha keluar dari sana. Tara menghela nafas, lelah juga membawa begitu banyak barang sendirian.
"Untung kemarin udah sempet kesini buat bersihin. Jadi hari ini tinggal lap-lap aja." Katanya pada diri sendiri.
"Meow." Matcha seolah mengerti perkataannya. Tara tersenyum melihat Matcha berkeliling melihat-lihat ruang apartemennya seolah menginspeksi tempat tinggal mereka yang baru.
"Gimana lumayan nyaman kan?"
"Meow!" Matcha mengiyakan.
"Untung tadi kamu ikutin aku sampai mobil, kalau gak sudah mau aku tinggal loh!" Tara mengelus Matcha.
"Meow!" Matcha tampak protes tapi senang karena bisa bersama Tara. Tara memperhatikan Matcha, badannya masih tampak sehat terawat seperti terakhir kali dia bertemu, jadi tampaknya tidak ada yang perlu dikhawatirkan membawa Matcha masuk ke tempat tinggalnya.
"Kucing itu ada tokso, terus suka nangkep tikus! Kamu gak berasa jijik?" Kata-kata ibu terngiang kembali.
"Tapi nanti tetap aku bawa kamu ke dokter hewan dulu ya, terus kita ke minimarket untuk beli beberapa barang kebutuhanku dan perlengkapanmu." Kata Tara pada Matcha.
"Meow?" Sepertinya Matcha tak paham maksud Tara. "Nanti aku tunjukkan." Sahut Tara.
Setelah lap-lap dan membereskan barang-barang miliknya, Tara duduk di sofa. "Sisanya lanjut besok aja deh. Nanti kesorean, yuk Matcha." Matcha yang daritadi di meja dan sibuk melihat jendela lompat ke lantai dan mengikuti Tara.
"Kamu pinter ya." Matcha mengelus pipinya di kaki Tara yang sedang mengunci pintu. "Selalu datang kalau namanya dipanggil. Sepertinya kamu dari dulu memang kucing peliharaan. Kenapasih dulu ada yang tega membuangmu?" Tara menggendong Matcha dan menciumnya karena gemas, dia lupa harus mengecek dulu apakah Matcha ada kutu atau tidak ke dokter. Cepat-cepat dia masukkan Matcha ke dalam tas.
"Meow." Matcha seperti ingin bercerita banyak tentang pemiliknya.
Matcha nurut saja sampai klinik hewan, sampai di resepsionis Tara mengeluarkan Matcha dari tasnya dan menggendongnya. Di ruang tunggu, Tara bisa melihat ruangan dokter yang disekat kaca.
Setelah menatap ke arah kaca Matcha menghindar, "Meow!" Dia tampak protes dan ingin turun dari tangan Tara. "Meow!" Tara dengan susah payah tak mau melepas Matcha. Tapi akhirnya Matcha jatuh ke lantai juga. "Meow.." Matcha mengeong melas seolah memohon pada Tara untuk pulang. Tampaknya dia takut melihat alat bedah bekas pakai pasien terakhir yang begitu banyak di meja dokter, masih ada darah dan sedang dalam proses cuci suster. "Gak apa-apa Matcha. Dokternya baik. Kita cuma cek sebentar disini. Gak pake alat-alat itu." Kata Tara menenangkan sambil mengelus kepala Matcha.
"Sini biar saya saja." Dokter tersebut keluar dengan jubah putih dan memegang suntik. Penampakan ini membuat Matcha gemetar. Sebelum sempat kabur, dokter dengan sigap menggendong Matcha dan menahannya dengan erat. "Meow! Meow! Meow!" Matcha seperti menangis. Tara jadi tak tega. "Matcha.."
Tak disangka, Matcha dengan agresif mencakar dokter. "Aduh." Genggaman dokter jadi lepas dari Matcha dan Matcha dengan cepat kabur berlari keluar klinik. Tara mengejarnya, untungnya Matcha masih ada didepan klinik, seperti duduk menunggu untuk ditemukan. "Matcha.. Kamu kenapa?" Matcha terlihat masih trauma. "Kamu ada pengalaman buruk ya sama dokter?" Matcha tak bersuara, seolah-olah ngambek.
"Yaudah yuk besok-besok aja ke dokternya."