Hari itu, hujan turun perlahan di halaman sekolah. Langit yang kelabu menciptakan suasana yang suram, seolah memberi isyarat bahwa sesuatu akan terjadi. Aaron, seperti biasa, berjalan melewati koridor sekolah dengan langkah santai namun penuh ketegasan. Setiap orang yang melihatnya langsung menundukkan kepala, berusaha untuk tidak menarik perhatiannya. Dia adalah sosok yang mereka takuti—pemuda dingin yang tidak pernah tersenyum dan selalu memancarkan aura berbahaya.
Di balik sikap dinginnya, Aaron dikenal tidak pernah gentar menghadapi siapa pun. Dia tidak peduli pada aturan sekolah atau peringatan dari guru. Ada bisik-bisik tentang keterlibatannya dalam perkelahian jalanan, dan rumor itu membuatnya semakin ditakuti. Meski begitu, Aaron selalu merasa ada kekosongan dalam hidupnya. Sebuah kehampaan yang tak bisa ia jelaskan, tapi ia biarkan terpendam dalam keheningan.
Hingga hari itu tiba.
Di luar sekolah, sekelompok siswa dari sekolah musuh menunggu Aaron. Mereka mengira kali ini mereka akan mendapatkan kesempatan untuk mengalahkannya. Lima orang, semua bertubuh kekar, berdiri di ujung jalan. Mereka sudah tahu rute yang Aaron lewati setiap pulang sekolah. Biasanya, Aaron tidak akan menghindar dari tantangan seperti ini. Dia justru menyambutnya dengan penuh perhitungan, menikmati adrenalin saat berhadapan dengan mereka yang mencoba menantangnya.
Aaron melihat mereka dari kejauhan, dan tanpa ragu, ia melangkah maju, bersiap untuk menghadapi perkelahian itu. Tatapannya penuh keyakinan, seolah dia sudah tahu hasil akhir sebelum perkelahian dimulai. Namun, saat ia mendekat, sebuah suara yang tak terduga terdengar di belakangnya.
"Berhenti!" Suara perempuan yang terdengar tegas namun bergetar. Aaron menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Di sana, berdiri seorang gadis dengan rambut terurai, mata besar yang penuh keberanian meski tampak sedikit gugup.